Rembulan Bukan Matahariku

Desir angin tak membuatnya bergeming, sesekali ditatapnya rembulan yang redup berselimut mendung tak ada kerlip bintang disana, buram… sunyi malam itu, nyanyian jangkrik di pematang sawah seberang rumahnya menjadi teman kesendiriannya, serta telepon seluler yang selalu di perhatikannya, terkadang suara Bapak yang berdecak mengomentari berita di televisi terdengar. Di teras rumahnya Nisa duduk termangu, sesekali mengusap butir-butir bening yang mengalir dari sudut matanya.
“ya Rabb… kenapa dia masih selalu hadir dalam ingatan, dan pikiran ini?” gumamnya pelan, mengiba.
Rasa bersalah sekaligus sakit yang menggerogoti ulu hatinya sepertinya belum bisa sembuh. kejadian 4 bulan silam masih lekat di ingatan. “maafkan aku… aku tak sanggup mengatakannya padamu…”. sebuah pesan singkat namun tak sesingkat itu menghapusnya, tersimpan dalam memori otak. andai saja ada tombol delete otomatis di otak ini mungkin tak akan jadi masalah.
Setelah itu tak ada lagi pesan-pesan singkat. hanya bayang-bayang panjang yang menari-nari menggiring pada kondisi yang susah untuk dimengerti, semua dirasa suram, hitam…
“Aku ikhlas… akan terus berusaha untuk ikhlas”. terbayang sosok perempuan yang samar sama sekali tak dikenalnya. terasa perih untuk sekedar membayangkannya saja. Rasa bersalah menggelayuti pundaknya, seandainya ia tidak meninggalkan orang yang sangat ia kasihi itu, mungkin saat ini ia yang bersanding dengannya. ah, adakah yang salah dengan takdir? bisik batinnya meronta.
Sosok Rizal yang didamba kan menjadi imam untuk masa depannya kini hanya tinggal sesosok kenangan. setelah pesan singkat itu, dia benar-benar pergi dari kehidupan Nisa. Sakit itu karena betapa singkat semua terjadi betapa cepat terganti.
“maafkan aku kak, aku tak ingin berpisah darimu kak…” terisak Nisa saat terakhir ia bertemu dengan Rizal, kenyataan bahwa ia harus mengikuti keluarganya pindah ke luar kota membuat Nisa begitu terpukul.
“yang sabar ya dik… tenangkan hatimu.. aku kan berusaha ikhlas semua demi orangtuamu”. digenggamnya jemari Nisa seakan tak ingin angin pun memisahkan tangan mereka.
Derai air mata pun mengiringi kepergiannya, sungguh dalam munajatnya tak pernah terlewat harapan akan kebersamaan lagi.
Nisa menyeka genangan airmatanya, hawa dingin malam kian dirakan menusuk, ah, semua itu kini tinggal kenangan, bisiknya lirih. “Ambillah mataharimu, kau sekarang berhak atasnya…”
Betapapun besar perasaanya untuk Rizal, kini tak ada artinya lagi. Rizal lebih memilih bersanding dengan perempuan lain daripada harus menunggunya kembali. Sebuah kenyataan yang harus diterimanya dengan lapang dada, dan berbesar hati dengan semua itu.
Hatinya berdesir, mengisyaratkan untuk tetap tegar. Sang rembulan malam beringsut pelan ke arah Barat, ditatapnya dengan lekat, hal yang sangat disukainya berlama-lama menatap rembulan membuat hatinya lebih tenang. Ada gurat penyesalan pada raut mukanya, dalam hatinya bergumam “Mungkin Allah cemburu padaku, aku terlalu mencintai mahlukNya, hingga ibadahku, tindakanku dan semua yang kulakukan tidak semata-mata karenaNya, tapi karena agar Dia merestuiku dengannya. “Ya, aku sadar, aku memang salah. Ampuni aku ya Rabb… harusnya ku jaga perasaan ini dengan tidak menjalin hubungan dengannya. Ampuni saat ku bersamanya ya Rabb…” rintih Nisa dengan penuh harap.
“Nisa… ngapain kamu di luar? sudah malam nduk, cepat masuk! dingin-dingin begini kok di luar?” suara umi dari dalam rumah memecah lamunannya.
“iya mi… sebentar lagi…” sahut Nisa. sebelum beranjak ia kembali menatap sang rembulan, “kau tetep indah meski berselaput mendung”. bisiknya perlahan. dan selamanya kau tak kan pernah menjadi matahari.
5 bulan berlalu, hari-hari Nisa disibukkan dengan pekerjaan kantor, dan kegiatan di luar jam kantor yang digunakan untuk mengajar ngaji anak-anak. semua dilakukan agar ia bisa memperbaiki kehidupannya dan juga berusaha untuk mengubur kenangan bersama sosok Rizalnya itu. meskipun belum sepenuhnya hilang dari ingatan setidaknya konsentrasinya sudah kembali membaik.
Senja itu tampak merona, menghias cakrawala, burung-burung tampak terbang kebali ke sarangnya, mencari perlindungan dari gelap dan dinginnya hari yang kan berganti menjadi malam. Begitupun dengan Nisa, ia sudah berkemas, dan bangkit dari duduknya untuk segera pulang dari tempatnya mengajar ngaji. Tapi langkahnya kemudian tertahan.
“maaf bunda, kalau boleh tau bunda ini sudah ada yang mengkhitbah belum ya?” pertanyaan yang polos dari orangtua muridnya yang terbiasa memanggilnya bunda itu membuatnya sedikit salah tingkah.
“insyaallah belum bun, ada apa memangnya bun?” jawab Nisa dengan senyum simpul.
“alhamdulillah kalau belum bunda.. saya punya keponakan, namanya Ilyas insyaallah ia orang yang sholeh, saya melihat sepertinya cocok dengan bunda.” jawab ibu itu dengan ceria.
“ah… bunda bisa aja…” wajah Nisa tampak bersemu merah, ia pun menunduk tak memberikan jawaban dan berpamitan pulang.
Dalam perjalanan pikirannya coba menerka nerka, mungkinkah ini jawaban dari Allah atas munajat yang ia sampaikan tiap-tiap sujudnya di sepertiga malam? mungkinkah Matahari itu kan segera muncul esok? senyum tipis tersungging di bibirnya, “Wallahu a’lam” bisiknya dalam hati.
Cerpen Karangan: Lylik Choir
Blog: lilikchoir89.blogspot.com
Facebook: lylikchoir[-at-]yahoo.co.id

No comments:

Post a Comment