Kumpulan Cerpen (Karya Anak Bangsa)


Cerpen Romantis:
  1. Senyumannya Lembayung Senja
  2. I Like You Like I Like A Lake
  3. Love, Come And Gone
  4. Bukan Dia Tapi Kamu Vin
  5. Senyuman Terakhir Untuknya
  6. Remember
  7. My Last Love
  8. Cintaku Padamu Irene
  9. Tunggu aku Sampai Tiba Waktunya
  10. Komunitas Penulis Cerpen
  11. Silly Feeling
  12. Ada Cerita
  13. Disaat Senja Mulai Jatuh
  14. Aku Dan Dirinya
  15. Cappucinno Girl
  16. Pelangi
  17. Aku, Kamu Dan Kenangan
  18. Bersamanya Sedikit Lebih Lama
  19. Kertas Kosong
  20. Masa-Masa Indah Di Kampus
Cerpen Cinta:
  1. Bertepuk Sebelah Tangan
  2. Pangeranku Tanpa Sayap
  3. Sahabatku Mencintai Pacarku
  4. Bersama Hijab
  5. Hatimu Hatiku
  6. My Best Friend
  7. Pengorbanan Menjemput Adik
  8. IIs Safrianni
  9. Kesetiaan Separuh Jalan
  10. Rembulan Bukan Matahariku 
  11. Ketika Hujan Turun 
  12. Waiting For Time 
Cerpen Nasihat:
  1. Si Kakek Dan Aku
  2. Siapa Dia?
  3. Hening
  4. Meski Tanpa Ayah
  5. Ibuku Arti Sahabatku
  6. Move On
  7. Si Dogol

Si Dogol

Dogol adalah anak semata wayang dari pasangan ibu tuti yang hanya sebagai ibu rumah tangga dan bapak rahmat hanya seorang petani. sebenar nya dia adalah anak yang pandai hanya saja dia malas, pak rahmat berusaha bersusah payah untuk membiayakan anak nya agar dapat bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, namun si dogol hanya memilih untuk putus di jenjang SMK saja.
Si dogol selalu disuruh oleh ayah nya untuk bergegas mencari kerja karena hanya luntang lantung tidak jelas di rumah nya hanya hal itu yang ia lakukan di setiap hari nya, si ayah nya pun mulai bosan untuk menasehati dogol karena tak kunjung juga sadar untuk mencari kerja.
“dogol coba dong kamu cari kerja nak untuk mebantu ayah agar tidak terlalu berat untuk membeli biaya makan setiap hari nya apalagi ayah kan udah tua nak” suruh sang ayah, “ah males lah pak mending dogol tidur dogol capek pak kalo dogol harus kerja, sekolah aja capek pak apalagi kerja” jawab dogol dengan nada tinggi, dogol pun bergegas untuk menuju kasur tercinta nya dan kembali lah dia tidur tanpa menghiraukan apa yang di katakan ayah nya tadi, sedangkan sang ayah kembali menggelengkan kepala nya untuk kesekian kali nya seolah tidak percaya kalau si anak tunggal nya itu tidak pernah mendengar kan nasehat orang tua nya sekali pun, dan menuju lah pak rahmat ke tempat biasa ia mencari nafkah.
Suatu ketika pada saat pak rahmat menuju ke sawah untuk seperti biasa, di perjalanan menyebrang jalan raya untuk ke sawah ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan pak rahmat pun tidak menyadari nya dan akhir nya terserempet lah pak rahmat hingga terjungkal ke pinggiran jalan raya pengemudi mobil sedikit membanting stir nya karena mungkin kaget melihat pak rahmat yang datang tiba tiba itu, pengemudi pun langsung melarikan diri untuk menghindar dari amukan warga setempat, beberapa orang warga yang melihat kejadian tersebut sempat meneriakkan mobil tersebut bermaksud agar bertanggung jawab atas perbuatan nya, namun apalah daya mobil pun semakin jauh tidak terkejar. dan akhir nya pak rahmat pun di antar warga untuk pulang ke rumah nya dengan cara di gendong karena kaki nya yang patah karena terkilir tadi, dan sesampi nya di rumah pak rahmat beliau langsung di rebah kan di bale dalam rumah nya, dan salah seorang warga menuju rumah nya pak H.gopli, dia adalah tabib spesialis patah tulang di kampung itu, pada saat si dogol terbangun dari tidur nya dia terkejut melihat beberapa tetangga yang berada di depan bale dalam rumah nya, ketika si dogol mengetahui nya bahwa kaki sang ayah nya patah dan di bilang pak tabib tadi bahwa sang ayah nya sudah tidak bisa berjalan lagi, si dogol pun kaget dan menangis di depan ayah nya.
Setelah kejadian tersebut dogol pun selalu termenung di depan rumah nya, suatu ketika dia termenung dan ibu nya dogol pun menghampiri dia, seraya ia berkata untuk memberikan nasehat kepada dogol, “sudah jangan pernah kamu sesali yang sudah terjadi nak, sebanyak apapun air mata yang kamu keluarkan untuk menyesali hal yang telah terjadi gak akan pernah berarti, karena waktu gak akan pernah berputar kebelakan nak, nah mulai sekarang kamu harus mencari kerja untuk meringan kan beban ibu” kata sang ibu, “ia bu dogol menyesal gak pernah denger nasehat ayah jadi nya gini deh keluarga kita semakin terpuruk” jawab dogol.
Dan akhir nya setelah kejadian tersebut dogol pun mulai berusaha mencari kerja kesana kemari namun tak kunjung dapat, beberapa kali dogol di panggil oleh pihak pekerjaan nya untuk menjalani tes lulus kerja namun tak juga lulus. dan akhir nya dogol pun mulai frustasi menjalani hidup nya.
Suatu ketika dia menuju ke sungai untuk merenungkan hidup nya dan duduk di pinggir air terjun yang tidak terlalu tinggi itu, di sana lah tempat masa kecil ia merenung pada saat dia bosan dengan nasehat orang tua nya. pada saat dia duduk di batu kolar yang begitu besar dan keras itu ia merasakan ada hal yang berbeda pada waktu dulu, dan ternyata hal yang berbeda adalah dimana pada saat dulu dia kecil batu kolar tersebut adalah persis berbentuk bulat seperti bola, dan pada saat ini batu kolar tersebut berubah bentuk menjadi ada lubang, berbentuk seperti mangkuk di atas lubang tersebut berada persis di percikan air terjun.
Si dogol pun berfikir kenapa kok batu yang begitu keras nya bisa berubah bentuk seperti itu, setelah ia berfikir panjang dan akhir nya entah dapat hidayah dari mana dia mendapat kan jawaban nya, “batu yang begitu besar dan keras bisa kalah sama percikan air bila dilakukan secara rutin dan terus menerus hingga berubah bentuk”. dan si dogol pun berusaha mengambil hikmah nya dari kejadian tersebut bahwa jika dia ingin menghasil kan sesuatu maka harus dilakukan dengan kerja keras dan terus mencoba tanpa harus menyerah.
Dan setelah dogol mencoba nya dan dia pun berhasil setelah berbulan bulan dia gagal, dan sekarang si dogol pun menjadi seorang pengusaha kaya yang berada di ibu kota, orang tua nya pun ikut di ajak merantau ke jakarta dan mereka pun senang dengan kerja keras anak nya hingga sukses seperti ini.
Cerpen Karangan: Muhamad Rafael
Facebook: paketuw[-at-]yahoo.com
muhamad yunus

Move On

Kau acuhkan ku, kau diamkan aku, kau tinggalkan aku, lumpuhkan lah ingatanku hapuskan tentang dia, hapuskan memoriku tentangnya, hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia, ku ingin ku lupakannya
Terdengar suara dari dalam kamar seorang gadis, gadis itu menyetel salah satu lagu dari band geisha sambil duduk di tepi jendela di kamarnya gadis itu menangis mengenang masa lalunya. Pikirannya menerawang kebeberapa minggu yang lalu saat orang yang dia sayang menyakitinya.
Alex: “maaf aku sudah punya pacar lagi, aku sayang sama dia” .
Lisa: (seerr darah lisa seketika sudah berada di otak dan hatinya sesak menahan tangis) “jadi?”
Alex: “aku lebih memilih dia ketimbang kamu, perasaan aku sama kamu seperti sama teman-teman ku yang lain, hanya sekedar itu”.
Lisa: (dengan tenang dan menahan tangis) “ya sudahlah, aku juga nggak bisa maksa kamu untuk bertahan disini sama aku, semoga kamu bahagia sama pilihan kamu”
“lisa” panggil seseorang membuyarkan lamunan gadis manis itu
“uci? Kok kamu disini?” Tanya lisa pada sahabatnya
“jadi aku nggak boleh main ke tempat sahabat aku nih?” ucapnya
“maaf” ucapku lemah
“kamu masih mikirin dia?” Tanya uci yang sudah sangat dalam mengenal tentang ku bahkan masalah-masalahku
“aku nggak bakalan pernah bisa lupain dia ci” kata ku sambil menatap keluar jendela dan seketika air mata mengalir di pipi ku
“dia udah ngehianati kamu, sadar nggak sih? Kamu mesti move on lis,” ucapnya lagi
“nggak segampang yang kamu bilang ci” kataku sambil bangkit menghampiri meja rias sambil menatap cermin di depanku
“aku kangen kamu yang ceria seperti dulu lis” kata uci menghampiriku
“aku nggak bisa seperti dulu ci, hatiku sudah sangat hancur”
“kamu masih punya aku, Bahkan teman-teman dan keluarga kamu”
“ya aku tau”
“terus kamu mau apa? tetap diam disini dan menikmati semuanya? kamu kira kamu bias begini terus lis?”
“nggak”
“ya kalau nggak kamu move on dong”
“aku coba”
uci tersenyum mendengar ucapanku
Keesokan paginya
Suara merdu putaran jam berdetik keras di kamarku. Lembaran-lembaran foto dan kertas berisikan nama nya itu pun masih berserak di tempat tidurku. Tanpa aku sadari hujan beberapa minggu yang lalu masih meninggalkan baunya disini. Air mata yang mengalir dan belum bisa berhenti. Aku yang masih bergelut dengan bantal dan guling tak mampu membangkitkan diri seolah-olah badanku telah remuk. Masih jelas teringat kata-kata itu “aku mengenalnya baru seminggu yang lalu” kata-kata yang selalu ada dalam benakku, bisa-bisanya alex meninggalkan ku demi cewek yang baru ia kenal satu minggu. Kalimat singkat tapi sangat menyakitkan yang mengantar ku dengan setia ke jurang kegalauaan.
“ah terlalu bodoh aku kalau meratapi hal seperti ini, tuhan itu baik banget, dia tidak ingin ak terusan tersiksa maka dari itu dia secepatnya memisahkan ku dengan pria berwajah malaikat berhati iblis itu” kataku pada diri sendiri. Saat ini aku bertekad untuk enam huruf yang pasti bisa aku lakukan “MOVE ON”, ya, aku harus move on.
Siang itu ku lirik jam yang jarumnya menunjukan pukul 02:15 siang, aku masih terpaku di layar monitor laptop ku menjelajahi facebookku. Tiba-tiba handphone ku berdering suara sms masuk.
Massege dari: 081365XXXXX
“kamu hebat lis, bisa tegar sementara alex sudah membuatmu sangat sakit, kalau saja aku jadi alex nggak kan pernah aku tinggalkan perempuan sebaik kamu lis”
Nggak tau harus jawab apa, ada rasa heran dan senang dalam hati karena masih ada yang berpikiran untuk tidak meninggalkan aku, tapi aku nggak tau siapa yang mengirim pesan singkat itu.
Singkat cerita ternyata dia dony cowok yang uci coba comblangin saka aku. Uci sudah cerita semua sama dony tentang apa yang aku alami. Berulang kali aku bilang nggak mau pacaran maka semakin kuat juga tekad uci buat aku bisa move on dari cerita menyakitkan oleh orang yang namanya nggak boleh disebut. Tapi semua semangat uci untuk membuatku bangkit membuatku mengambil keputusan untuk maju dan menghapus bersih semua ingatan tentang penghianatan itu.
Malam ini di sebuah cafe kecil langgananku aku duduk bersama dony, cowok yang dikenalkan oleh uci. Sejak ceramah panjang lebar dari uci aku akhirnya menerima masukannya untuk bertemu dony. Aku benar-benar nggak sampai hati menolakan tawaran sahabat ku satu itu, dia memang benar-benar serius mencarikan aku pacar baru supaya bisa segera move on dari si berengs*k itu. Tapi pada akhirnya sama dengan cowok-cowok sebelumnya yang uci kenalkan ke aku, semua hilang bak ditelan bumi dengan satu-satunya alasan “aku cuek”.
Sebenarnya tanpa cowok yang dikenalkannya pun aku bisa move on, ceramah sahabatku pada hari itu benar-benar membuat aku move on dengan cepatnya walaupun tanpa pengganti si cowok berengs*k itu.
Sepotong kalimat itu “mungkin saat ini kamu mengira hal yang paling menyedihkan dalam hidup kamu adalah perpisahan dikarnakan penghianatan dari orang yang kamu jaga selama ini? Ingat lis daun yang jatuh tidak pernah menyalahkan angin, rencana tuhan jauh lebih indah untuk mu teman, come on kehidupan yang lebih baik menunggumu di depan sana”
Terima kasih sahabat terbaikku atas sepotong kalimat untuk membuatku move on
Cerpen Karangan: Siska Pratiwi
Facebook: Siskatiwi[-at-]facebook.com
terima kasih sudah baca cerpen ku :)
ak siska pratiwi biasa dipanggil Ika,
follow twitter aku @siskapratiwi93
pin bb aku 28A4BB73
Ini adalah cepen ketigaaku yang aku kirim ke cerpenmu,
baca juga cerpen ku yang lain ya.. makasih :)

Ibuku Arti Sahabatku

Waktu semakin cepat berlalu. Itulah rangkaian kata kata yang membebani pikiran Lisa saat ini. Lisa adalah siswa yang sedang duduk di kelas satu SMP. Kebetulan hari ini Lisa genap berumur 13 tahun. Ia hanya bisa berharap dengan bertambahnya usianya bertambah juga kebijakan dalam memilih apapun dan semoga bisa membahagiakan kedua orang tuanya.
Ia selalu berharap ingin melihat kebanggaan dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah ayahnya. Meski ia tahu bahwa itu hanya mimpi. Ayah Lisa meninggal dunia setahun yang lalu karena penyakit stroke yang dideritanya. Tetapi keadaan ini tidak membuat Lisa dan ibunya terpuruk dan larut dengan kesedihan. Mereka justru berusaha tabah dan tawakal menerima suratan takdir dari Sang Ilahi Robbi. Lisa juga begitu bangga dengan ibunya. Karena ibunya dapat memerankan dua peran sekaligus, yaitu menjadi ayah dan ibu walaupun belum sempurna tetapi Lisa tetap bangga kepadanya.
Pagi yang cerah, matahari bersinar sangat bersahabat. Pagi ini sebelum Lisa berangkat sekolah ibunya tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya.
“selamat ulang tahun, Nak” kata ibu sambil memeluk Lisa.
“terima kasih, Bu. Ulang tahunku kali ini sangat berbeda. Tiada lagi senyuman manis dari Ayah” kata Lisa dengan wajah yang murung.
“ini..” sambil memberikan sebuah gelang.
“apa ini, Bu?” tanya Lisa.
“ini gelang untukmu. Sebelum ayahmu meninggal ia berpesan pada ibu untuk memberikan gelang ini padamu ketika kamu genap berusia 13 tahun. Ternyata jauh-jauh hari ayahmu telah mempersiapkan itu untukmu.”
“aku pasti akan menjaga gelang ini baik-baik”
“maafkan, Ibu. Ibu tidak bisa memberimu apa-apa”
“ibu tidak perlu meminta maaf padaku. Cukup sisipkan namaku dalam doa ibu”
“kamu memang anak yang baik Lisa”
“ibu kan pernah bilang, mensyukuri nikmat yang ada akan lebih membahagiakan dari pada sibuk dengan keinginan yang belum tentu bermanfaat untuk kita”
Setelah itu, Lisa pamit kepada ibunya untuk berangkat sekolah.
Kesabaran, kebijakan, dan pengorbanan ibunya dalam menghidupinya seorang diri menjadi inspirasi bagi Lisa untuk menghadapi masalah yang telah menantinya. Karena selama kita hidup selama itu pula kita menghadapi masalah. Jika ada orang yang tidak mau memiliki masalah sama saja ia ingin menutup matanya untuk selama-lamanya. Itu juga kata-kata yang sering terucap dari mulut ibunya.
Sembilan kilo meter harus ditempuh Lisa untuk sampai di sekolahnya. Cuaca cerah yang bersahabat membuat Lisa semakin kencang mengayuh sepedanya. Tetapi sepertinya ada yang mengganjal di hati Lisa. Akhir-akhir ini sifat teman-temannya banyak yang berubah. entah apa kesalahan ang telah Lisa perbuat. Padahal selama ini Lisa selalu berpkir sebelum bertindak. Tetapi ia menyadari bahwa tiada manusia yang sempurna, semua manusia asti mempunyai keselahan termasuk Lisa. Ia hanya bisa berharap semoga teman-temannya bisa memaafkan keselahannya.
Sesampai di sekolah Lisa langsung memasuki kelas. Jantung Lisa serasa berhenti berdetak. Tiada seorang pun yang berada di kelas. Saat ini kelas bagaikan pemakaman yang gelap, sunyi dan sepi. Bulu kuduk Lisa mulai merinding. Ia pun mencoba berlari keluar dari kelas. Akan tetapi entah apa yang terjadi, kakinya terasa berat untuk diangkat sepertinya ada yang menahan kakinya. Tapi siapa? Bukankah di sini tidak ada orang selain Lisa. Ia sekarang tak punya nyali untuk melihat ke belakang dan melihat siapa sebenarnya yang menahan kakinya. Kini yang bisa ia lakukan hanya berteriak dan terus berteriak agar ada orang yang mendengarkan suaranya. Tanpa terasa perlahan air mata mula menetes dan mulai menggenangi pipinya yang chabi. Ia hanya memikirkan kejadian-kejadian buruk yang menimpanya jika ia tidak segera keluar dari sini.
Tiba-tiba lampu mulai menyala, dan terdengar suara serentak dengan ucapan “selamat ulang tahun, Lisa”. Ternyata suara itu adalah suara teman-teman Lisa yang telah merencanakan ini jauh-jauh hari. Sebagian besar teman-temannya memberikan kado padanya. Tanpa sengaja Ricky temannya, melihat gelang yang indah dan melingkar di tangan Lisa. Ricky adalah teman sekelas Lisa yang sangat jahil. Hampir semua temannya ia jahili tak ketinggalan Lisa. Dengan sengaja lucky menyenggol Lisa dan membuat Lisa terjatuh. saat ia jatuh, Ricky segera mengambil gelangnya dan ketika ia ingin mengambilnya Ricky justru melempar gelangnya ke arah Lucky. Itu pun berlangsung cukup lama. Ketika Lisa berhasil merebut gelangnya dari Lucky, Ricky justru berusaha mengambilnya kembali. Hingga gelang itu menjadi rebutan mereka berdua. Ricky tetap berusaha keras mempertahankan gelang itu pada genggamannya. Hingga tak disangka gelang itu putus. Lisa tak lagi bisa menahan amarahnya. Ia kecewa pada Ricky dan Lucky, karena mereka telah menghancurkan gelang pemberian ayahnya.
Tet… tet… tet… tet…
Bel berbunyi panjang tanda kegiatan di sekolah telah usai. semua anak-anak langsung berlari pulang. Tetapi tidak untuk Lisa. Melihat Liss kebingungan mencari salah satu manik-manik yang hilang, Ricky dan Lucky merasa iba. Ketika Ricky ingin menghampiri Lisa, ia merasa kakinya menginjak sesuatu. Ternyata benda yan diinjaknya adalah manik-manik yang sedang dicari Lisa. Ricky akhirnya memberikan manik-manik itu pada Lisa dan meminta maaf.
“maafin kami, ya” kata Ricky
“kami tidak bermasud membuatmu sedih” kata Lucky
“kalau hanya bicara itu memang mudah, tetapi coba kalan yang ada di posisiku” Jawab Lisa
“kami mengerti perasaanmu, mungkin jika kami yang berada di posisimu pasti kami akan melakukan hal yang sama” kata Ricky
“kalian tak kan pernah engerti perasaanku! Asal kalian tahu gelang ini pemberian dari Ayahku dan hanya ini yang aku punya” jawab Lisa dengan nada tinggi
“berapa sih harganya? Gelang murahan seperti itu saja diributkan. Masih mending aku mau minta maaf.” Kata Lucky dengan angkuh.
“memang ini gelang murahan bagi kalian tetapi ini sangat berharga bagiku!” Lisa pun segera meninggalkan tempat itu. Ricky sangat kecewa dengan perkataan Lucky pada Lisa mereka pu bertengkar hebat.
Ketika ibu sedang menyiapkan makan siang, tiba-tiba Lisa datang dengan air mata yang tak henti menetes. Lisa akhirnya menceritakan semuanya kepada ibunya.
“kamu tidak boleh seperti itu! Ibu yakin mereka tidak sengaja”
“kenapa ibu jadi membela mereka? Ibu tidak merasakan apa yang aku rasakan”
“kamu salah, ibu merasakan apa yang kamu rasakan. Kalau ibu di posisimu pasti ibu akan memaafkan mereka.”
“tapi kenapa, Bu?”
“karena mencari sahabat seperti mereka itu sangat sulit berbeda dengan mencari musuh”
“Yang harus kamu ingat sahabat itu takkan sirna oleh amarah dan sahabat itu sedetik di mata selamanya di jiwa”
“aku baru mengerti arti sahabat yang sesungguhnya. Seharusnya aku bisa menahan amarahku”
“air tak selau jernih begitu pula perbuatan mereka padamu”
“iya bu, aku berjanji akan meminta maaf pada mereka. Terima kasih, Bu telah Mengajarkanku arti persahabatan”
Ibu hanya bisa tersenyum dan memeluk Lisa.
Cerpen Karangan: Mutiara Devit Merlinda
Facebook: Mutiara Devit
nama: mutiara devit merlinda
sekolah: SMPN 1 NGADILUWIH, KEDIRI

Meski Tanpa Ayah

Pagi ini kusambut mentari pagi. Kulangkahkan kaki menuju sekolah, meski tak ada lagi yang mengantarku. Tak seperti dulu saat ayah di sisi ku Ia akan menyambut pagi ini dengan bunyi klakson motornya yang berisik tanda ia terlalu lama menunggu. Bunda akan melihatku dan mengantarku hingga di depan pintu dengan senyuman hangatnya.
Yahh, tapi itu dulu, saat ayah ada di antara kami, kini tak ada lagi senyuman hangat dari bunda, yang ada hanyalah muka letih karena terlalu lelah bekerja, yang ada hanyalah kerut muka tanda bertambah usia.
Dulu aku berfikir betapa menyebalkan ayah dengan segala peraturan yang dibuatnya, tapi kini aku merindukan segala tutur katanya, betapa lembut belaian darinya, bahkan harum tubuhnya pun kini aku rindukan. Aku menyadari betapa pentingnya ia di hidupku, kini pelita itu telah hilang seolah pergi tanpa bayang. yang kucari tak lagi dapat kutemukan hanya angan yang tersisa.
Saat kepergian ayah, kurasakan kehilangan yang luar biasa, hatiku bergejolak, tapi kulihat Bunda ia seolah ingin melawan takdir, hatinya begitu tersayat, raungan kepedihan begitu mendalam di hatinya, berkali kali ia pingsan, menyebut nama ayah tanpa sadar.
Yah, lagi lagi itu dulu, kini aku bersama bunda memulai hidup baru, memulai menata hidup kami kembali, kini aku mulai menyongsong masa depan lagi lagi “Meski Tanpa Ayah” di sisi. Bunda mulai menerima kenyataan bahwa ayah telah tiada bersama kami. Bayang-bayang suara ayah akan keinginanya untuk agar aku menjadi dokter semakin membangkitkan emosi. Ayah, lihatlah aku, meski tanpamu kini aku bisa berdiri, dan meraih impian, tapi ini semua tak lepas dari keinginanmu. Love you ayah..
Cerpen Karangan: Kharisma Titah Utami
Facebook: Sii kharisma titahh utami

Hening


Mobil Avanza melaju menyerobot derasnya hujan bahkan aku hampir tidak bisa melihat jalan dengan jelas. Irwan mencoba mengelapnya untuk mengurangi embun yang menempel di kaca depan. Lampu temaran mobil itu yang menembus hujan menambah suasana sore seperti kesunyian.
“biar aku bantu mengelap, kamu harus konsentrasi melihat jalan..” aku menawarkan diri, ku lihat wajahnya serius sekali mengelap kaca.
“sudahlah tidak apa-apa. Kau tenang saja aku bisa berkonsetrasi sambil mengelap kaca ini” Katanya. Dia belum menampakkan senyumnya.
Beberapa jam yang lalu, dia mengirim pesan kepadaku. Aku merasa senang karena aku kira dia ingin menghiburku, mengajakku jalan keluar menikmati sore berdua. Kerena kebetulan sekali otakku lelah dipenuih dengan rumus matematika yang harus kuhapal, belum lagi rumus fisika, dan kimia. Akhir-akhir ini aku mengikuti berbagai kursus untuk menghadapi ujian nasional yang tinggal menghitung hari. Pikirku otakku juga perlu istirahat dan pergi dengannya mungkin bisa menghibur sedikit rasa lelahku. Aku balas dengan excited bertanya ‘where we will go?’ dia hanya membalas ‘sudah nanti akan aku jemput kamu’. Namun sejak dia menjemputku aku lihat rona mukanya hanya keseriusan dan ketenangan yang nampak, tidak terucap satu kata pun saat aku memasuki mobil Avanza-nya. Apa yang sedang ia pikirkan?.
Aku memberanikan diri bertanya “kita akan pergi kemana?”
“ehm.. kita akan pergi ke Rose’s Caffe, kamu ingat?” tatapannya serius menatap jalan, duduknya berubah sedikit ke depan mendekati kaca agar jalan dapat lebih terlihat olehnya.
“oh, aku ingat, tempat itu kan tempat kamu nembak aku satu tahun yang lalu” Aku bersemangat.
Tanpa kusangka dia membalikkan kepalanya ke padaku dan memberikan senyum lebarnya, inilah irwan yang aku kenal.
Namun keheningan itu datang lagi saat mobil sampai di parkiran Rose’s Caffe. Aku seperti terbawa nostalgia satu tahun lalu, mobil Avanza ini masih sama, bahkan cincin yang pertama ia berikan padaku dari perak putih yang cantik masih setia aku kenakan.
Aku ragu untuk turun dari mobil, saat dia membukakan pintu aku sadar, aku memang harus turun. Ada apa dengan perasaanku? Begitu menyesakkan hati. Aku takut karena begitu banyak pertanyaan di kepalaku. Mengapa Irwan mengajakku kemari? padahal semenjak kita berpacaran kecuali pertama dia mengatakan cintanya kami tidak pernah lagi datang kemari, mengapa dia tidak banyak bicara padaku sejak tadi? Apa aku membuat suatu kesalahan?, apa ini atau itu… begitu banyak pikiran mendera otakku sekarang.
Irwan berjalan satu langkah lebih maju dari langkahku, dia bahkan tidak memegang tanganku atau bertanya padaku ‘apa kau senang datang kemari?’. Dia tidak berusaha melakukan apapun yang bisa membuat aku yakin hubungan ini baik-baik saja. Harum mawar segar menerpa penciummanku, Rose’s Caffe memang selalu dipenuhi bunga mawar segar di setiap sudut tempat mungkin begitulah ciri khas Caffe ini. Embun seperti kristal menempel pada kelopaknya, seakan mengibaratkan kesedihan dibalik semua harapanku, jujur aku tidak suka suasana hening walau mendamaikan, ia selalu meninggalkan banyak pertanyaan.
Aku hanya memesan secangkir cokelat panas, Irwan menambahkan bahwa aku harus makan sesuatu, namun perasaanku sedang tidak mood sekarang. Ia akhirnya memesan spaggeti untukku. Saat kami mulai bertatap muka dan dia mulai menebarkan senyum yang terlihat menutupi sesuatu, aku tahu pasti ada masalah dalam hubungan ini. Haruskah aku yang bertanya mengapa? Mengapa dia begitu berbeda?.
“hmmn..” dia seperti sudah siap mengucapkan kata-kata.
“ada yang ingin aku bicarain sama kamu..” dia tidak ingin menatap mataku, seakan tahu bahwa mataku akan menanyakan banyak pertanyaan dibandingkan dengan bibirku yang sudah mulai kaku dirudung kecemasan.
Seorang pelayan yang mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dariku, mengantarkan pesanan kami. Dia mungkin tahu gerak-gerik hubungan sedang mengalami masalah, tidak seperti pasangan lain yang sering berkunjung kemari. Caffe terlihat sepi, sehabis hujan lebat mengguyur mungkin banyak orang berpikir untuk berdiam di rumah. Dari pada bergelut dengan dinginnya malam atau dengan rintik hujan kecil yang masih terasa. Musik yang biasanya aku dengar ber-alunan romantis pun hilang seakan mengetahui keadaan hubungan kami.
“Ok.. bicaralah..” aku manatap matanya lebih tajam agar bisa kuperhatikan gaya bicaranya mungkin aku bisa menerka isi hatinya.
Di mulai berani menatapku “dengar..” dia menggenggam tanganku, aku merasa ada hawa dingin di tangannya. Entahlah itu, aku akan pasrah apapun yang terjadi dengan hubungan kita. Tapi aku harus tahu kenapa.
“kita harus berakhir sekarang?” akhirnya kata yang ia sembunyikan keluar dari mulutnya.
“kenapa? Aku berhak tau apa sebabnya” mataku mulai berkaca-kaca dan mengalihkan pandangan.
“Lihat aku, mungkin kita sudah tidak cocok lagi Lis, mungkin ini jalan yang terbaik” dia memandangku lekat. Hatiku terasa pecah menjadi serpihan yang berusaha aku pungut dengan tabah.
“aku tahu pasti bukan itu alasannya, apa aku berbuat salah?” aku berkata dengan air mata hampir meluap membasahi pipi.
Aku ingat pertama dia memandangku di perpustakaan sekolah, walau dia satu tahun lebih tua dariku dia tidak gengsi berkenalan denganku. Satu-satunya yang aku sukai dari perpustakaan sekolah ada banyak buku tentang psikologi disana. Dan bertambahlah alasanku karena aku merindukan wajah seriusnya mengerjakan soal matematika di meja dekat jendela perpustakaan. Ternyata dia juga kagum padaku katanya ‘aku selalu rindu pada seorang gadis bertubuh mungil duduk di lantai tanpa peduli orang sekitar sedang membaca buku psikologi padahal ada banyak bangku dan meja disana’. Tidak pernah aku sangka dia juga memperhatikan aku.
Sampai suatu hari ia datang ke rumah, saat keadaanku sedang kacau aku baru bangun dari tidurku, rambutku tak beraturan bahkan aku memakai celana pendek lusuh kesayanganku. Dia bilang ‘aku sengaja datang kemari, ini hari spesialmu’. ternyata dia ingat hari ulang tahunku, bahkan aku juga lupa karena banyak kegiatan paduan suara saat itu. Dia membelikan aku sebuah buku psikologi yang aku mau sebagai hadiah, dia juga lansung mengajakku ke Caffe ini, tentu saja saat aku sudah yakin aku bisa diajak kesana. Aku berdandan secantik yang aku bisa. Dia sangat tampan memakai setelan cassual-nya kaos dan jeans sedangkan, aku memilih dress-pink bermotif bunga. Baru aku sadari saat itu dia berperawakan tinggi, bahkan dapat melindungiku dari silau matahari aku selalu ingin melihatnya begitu karena, saat itu ia tampak seperti bayangan ‘pria cool’.
Di Caffe dia mengungkapkan perasaannya, aku tersipu dan menjawab ‘aku mau’ apakah aku terlalu naif mengatakannya? Itu memang perasaanku terhadapnya. Dia juga terlihat agak tegang dibalik sikap coolnya itu, apa lagi aku yang selalu salah tingkah di hadapannya. Dia juga memberiku cicin perak sebagai tanda hubungan kita, aku suka modelnya yang begitu klasik dengan mata berlian putih di tengahnya. Dan saat itu juga dia pertama mencium keningku.
Saat beberapa bulan hubungan kita, aku baru tahu kalau dia berbeda agama denganku, ia penganut Kristen yang taat. Aku pernah merasakan keheningan yang aku rasakan malam ini. Dia membawaku ke sebuah taman, tapi dia tidak terlihat serius ketika itu. Walau perbedaan keyakinan mengukung hubungan kami. Keheningan saat itu bisa teratasi dengan saling janji dan komitmen ‘kita akan selalu menghargai perbedaan antara kita dan kita bisa mengatasi tembok yang menjulang tinggi di antara kita’. Kami menjalani hubungan dengan baik, walau dia sibuk menghadapi ujian dan akhirnya masuk keperguruan tinggi yang ia idamkan. Ia masih menunjukkan rasa cintanya padaku.
Namun aku rasa keheningan saat ini tidak bisa teratasi, aku marah, aku merasa bersalah semua pikiran itu menggangguku saat ini. Air mataku tak terbendung mengalir membasahi pipiku, air mata itu kini meluap mewakili hatiku. Irwan coba menenangkanku, ia mengusap air mataku dengan tangannya yang kini mulai terasa bertambah dingin.
“tidak lis, kamu tidak melakukan kesalahan. Aku yang salah. Aku minta maaf”
“Katakan saja alasannya Ir, aku bisa terima apapun itu sehingga kita putuspun beralasan.. aku mohon” aku menatap matanya, air mata semakin deras mengalir.
Dia melepas genggamannya, dan hanya terdiam.
“aku ingin pulang sekarang,!” aku berdiri dari kursi.
“lis, cobalah mengerti” hatiku mulai merasa ingin berontak, ia bahkan tidak ingin menjelaskannya. Mengapa? bahkan dia tidak mengerti keadaan menghadapi ujian nasional yang harus aku persiapkan. Aku ingin mendapat dukungannya.
Aku berjalan menuju mobil Avanza miliknya, aku berpikir mungkin dengan pulang aku bisa menenangkan diriku, mencoba menerima semuanya. Irwan terlihat mengejarku dan memanggil namaku. Aku terus berjalan menuju mobil dengan air mata yang masih bercucuran. Aku melewati bunga mawar segar tadi, mereka seperti sudah memberi pertanda sebelumnya. Aku bahkan tidak mengira akan keluar dari Caffe yang menurutku bersejarah dalam cintaku dalam keadaan menangis, karenanya.
Aku masuk kedalamnya, aku mungkin bisa berlari atau naik kendaraan umum menuju rumah. Namun itu akan terlihat bodoh karena akan banyak orang yang melihat tangisku. Aku ingin ia mengungkapkan apa yang ia sembunyikan. Irwan memasuki mobil da duduk di hadapan stir sambil memandang ke arahku.
“Aku sadar aku terlalu tega lis, tapi…”
“Aku ingin pulang sekarang, aku lelah” aku menatap keluar jendela samping mobil, terlihat titik hujan masih menempel. Napasku membuat kaca mobil berembun.
“ini memang berat lis…”
“aku tau… pasti ada alasannya ir, kamu gak mau ngasih tau aku apa alasannya?” aku meninggikan nada bicaraku, merasa hatiku pun berhak untuk mengetahui apa yang disembunyikan.
“ok. Lis. Mamaku tidak setuju dengan hubungan kita..” ucapnya lirih, seakan berat mengatakannya.
“Apa karena perbedaan kita?” aku menoleh ingin melihat jawaban dari bibirnya.
“Iya…” suasana hening itu mengelimuti kami, aku mulai bisa merasa tegar.
Irwan adalah anak yang begitu patuh pada kedua orangtuanya, jika itu memang keputusan yang terbaik baginya aku akan terima. Jika memang ini alasannya aku bisa terima, aku mengerti sebagai anak dari kedua orangtua yang sudah membesarkanku, jika aku ada di posisinya mungkin aku akan lakukan hal yang sama. Tembok yang menjulang di antara kami adalah masalah keyakinan aku harus bisa menerimanya walau hatiku perih. Mungkin perbedaan yang begitu pekat tentang keyakinan, lebih mendominasi berakhirnya hubungan ini.
“Baiklah ir, aku mengerti sekarang, kita akhiri saja hubungan ini. Mungkin ini yang terbaik” aku berusaha menghapus air mataku dengan tanganku, lalu menarik napas dalam berusaha untuk tegar.
Suasana hening merundung kami, namun terdengar pikiran dalam hatiku terngiang-ngiang di kepala. Sepertinya Irwan juga merasakan hal yang sama, kami tenggelam dalam perasaan masing-masing yang mengalahkan suasana hening di antara kami.
“Ir, aku ingin pulang”
“baiklah…”
Dia memutar mobilnya, tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Mobil itu melaju, seakan tahu aku juga ingin lari dari kenyataan ini. Mataku mulai lelah dan sayu, seakan ingin lepas pergi ke dunia yang lebih baik dari kejadian ini.. aku tetidur dalam keheningan.
Seminggu kemudian, aku bangun lebih pagi karena hari ini adalah hari yang penting untuk menentukan masa depanku. Hari pertama aku menghadapi ujian nasional, mama bahkan membantuku membereskan alat-alat tulis mungkin saja ada yang tertinggal dan bisa fatal. Aku menghabiskan sarapan sambil dalam hatiku berdoa “mudahkan ya Allah.. mudahkanlah hamba”. Tiba-tiba bibi manghapiriku, dan memberikan surat untukku. Aku lihat siapa pengirimnya ternyata Irwan, isi suratnya:
For Lisa
‘Percayalah pada hatimu, kamu bisa lakukan apa yang kamu mau…’
Irwan your’s friend.
Cerpen Karangan: Cika J
Facebook: Kayacica85[-at-]gmail.com

Waiting For The Time

Waktu berjalan begitu cepat. Dahulu Anggun begitu memuja-muja Reva meskipun mereka belum saling mengenal. Sejak pertama kali bertemu, Anggun sudah merasakan sesuatu yang beda. Akan tetapi Anggun selalu bersabar menunggu saat dimana mereka akan saling mengenal. Momen itu terasa begitu lama datangnya. Hingga suatu saat seorang sahabat Anggun saling memperkenalkan mereka.
Namun kisah cinta ini belum berakhir sampai disitu. Sejak mereka saling mengenal, mereka harus melakukan suatu tahapan menuju jenjang cinta, yaitu ‘PDKT’ alias pendekatan. Tahap ini berjalan begitu sangat lama pula, berlangsung hingga 3 Tahun. Anggun pun merasakan Reva yang sepertinya mustahil untuk jatuh hati padanya. Akhirnya Anggun memutuskan untuk menyerah menunggu Reva, dan memutuskan untuk fokus ke UN SMK yang sudah di depan mata. Walaupun begitu Anggun dan Reva masih tetap saling berkomunikasi jarak jauh seperti biasa.
Finally hari kelulusanpun tiba, seluruh siswa berkerumunan saling berdesakan di papan pengumuman, untuk melihat hasil UN. Fortunately! Enggak ada yang terlihat menangis stelah melihat papan pengumuman. Itu berarti enggak ada yang enggak lulus. Saat itu kami semua sangat bahagia, namun juga sangat bersedih karena kita akan meninggalkan masa putih abu-abu. Kita akan mencari jenjang yang lebih tinggi bisa kerja maupun kuliah.
Saat hari kelulusan itu hampir seluruh siswa terutama laki-laki yang mencoret-coret baju mereka, dengan berbagai tanda tangan dan sepidol yang berwarna-warni pula. Sekarang tak ada lagi yang namanya saling mencontek, saling lempar tipeks, saling nongkrong depan kelas, jailin guru, dihukum guru di depan kelas dll. Begitu cepat waktu berlalu.
Suatu malam, terlihat Anggun yang sedang berada di jendela dan sedang memandangi langit malam. Malam itu Anggun sedang membayangkan Reva. Walaupun hari ini dia bahagia karena telah lulus, namun terasa ada yang kurang, hingga membuatnya gundah gulana sperti itu. Kemudian terdengar alunan lagu pilihan hati dari Geisha yang membuyarkan lamunannya. Anggun tahu bahwa yang mengeluarkan suara itu adalah poselnya. Lalu dia merogoh ponsel yang berada di atas kasurnya. Sembari menatap layar ponselnya, dia melongo, ternyata yang memanggilnya adalah cowo yang dipujanya sedari kelas 1 SMK. Dengan jantung yang tiba-tiba begetar Segera ia menekan tombol hijau. Tiiit…
“hallooo… malem putri mammoth” terdengar suara Reva di seberang sana yang biasa memanggil Anggun dengan sebutan Putri Mammoth, entah apa yang ada dipikiran Reva saat menciptakan nama hewan purba itu.
“ya haloo kak Reva, tumben nelpon, kenapa kak?”
“kamu udah lulus ya? Congratulation for your success darling!!!” ucap Reva yang memberikan selamat pada Anggun.
“thanks kak, kakak nelpon aku Cuma mau ngomong gitu aja?”
“hmmm… ya enggaklah sayang, aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu”
“apaan kak?”
“hmmm, sebenernya… aku suka sama kamu dari dulu, tapi karena nungguin kamu lulus dulu aku baru mau nembak kamu” tuturnya dengan nada yang berkesan.
Mendengar ucapan itu jantung Anggun udah seperti mau loncat-loncat keluar. Anggun seakan terbius, dan tak bisa ngomong apa-apa. Ternyata bener yang dibilang temen-temennya. Reva pasti Cuma mau nungguin dia lulus dulu, karena Reva sudah kerja. Reva pasti memikirkan keadaan juga saat Anggun masih sekolah, dia tidak mau mengganggunya.
“kenapa diem? Apa kamu udah punya pacar saat ini?”
Anggun segera sadar “ahh… be.. belum kak” kata-kata Anggun terpatah-patah.
“lalu kamu apa nggak terima cinta aku Nggun?”
Tanpa pikir panjang dan bagaikan terhipnotis Anggun bilang “ya tentu kak.”
“aku.. aku juga suka kakak dari pertama aku lihat kakak” tutur Anggun.
Kini kebahagiaan Anggun telah bertambah dengan adanya Reva sebagai pacarnya.
Mereka sudah menjalin hubungan sudah hampir setahun. Dan selama itu mereka memutuskan bekerja di tempat yang berbeda, agar tidak ada personal problem di tempat kerja. Meskipun mereka harus jarang bertemu, karena keduanya memiliki kesibukan tersendiri. Tapi mereka tetap saling menghubungi dan mempercayai satu sama lain.
Beberapa bulan hubungan masih berjalan baik-baik saja. Namun suatu hal yang manis tidak akan selamanya bertahan, kata pepatah tak ada yang abadi. Begitu juga dengan suatu hubungan pasti ada pahit manisnya karena live is never flat. Entah apa telah yang terjadi, suatu saat tiba-tiba Reva mengajak Anggun ke Taman Kota.
“Anggun kamu tahu enggak kenapa aku ngajak kamu ke tempat ini tiba-tiba?” tanya Reva mengawali percakapan.
“enggak, ada apa kak? Kakak mau ngomong sesuatu?”
Reva terdiam namun Anggun menyadari raut wajah kekasihnya itu memancarkan kesedihan, dia terlihat berkaca-kaca namun Anggun yakin dia pasti sedang menahan air mata itu menyentuh pipinya.
“kak, ada sesuatu yang kakak sembunyiin? Kenapa wajah kakak tampak sedih dan pucat, tak seperti biasa, kakak sakit?” tanya Anggun yang heran melihat pacarnya, kemudian menjulurkan tangannya dan menyentuh kening Reva untuk merasakan suhu tubuh Reva.
“enggak sayang, aku enggak sakit, aku baik-baik aja, Anggun…” Reva menggantung kalimatnya. Anggun hanya sedikit memiringkan kepalanya heran.
“kamu masih sayang sama aku?” sambung Reva.
“tentu saja kak, kenapa kakak nanya kaya gitu, kakak udah enggak sayang sama aku lagi?” Anggun merasakan feel yang aneh saat mendengar pertanyaan kekasihnya.
“Anggun gimana misalnya kalau suatu saat nanti kita berpisah karena sesuatu?” Reva tak menjawab pertanyaan Anggun, malah melontarkan pertanyaan yang aneh lagi.
“kenapa nanya gitu lagi? Apa kakak mau putusin aku? Kenapa? Ada masalah apa? apa kakak udah punya cewe lain?”
“bukan gitu Anggun, aku masih sayang banget sama kamu,dan enggak ada sedikit pikiran terlintas untuk mencari cewe lain, bahkan aku sempat berfikir untuk menjadikanmu yang terakhir dalam hidupku” tutur Reva yang terlihat sangat serius dan penuh makna.
“tapi Nggun, ada masalah besar antara kita”
“masalah besar apa?” tanya Anggun spontan. Lalu Reva menarik nafas panjang sebelum menjawab, seakan dia menghadapi sesuatu yang menegangkan.
“orang tuaku… enggak menyetujui hubungan kita”
“apa?” Anggun sangat shock mendengar pegakuan itu.
“tapi kenapa, bukannya ibumu udah tau aku? Kita kan satu Desa, apa yang membuat ibu seperti itu?” sambung Anggun.
“bukannya dia enggak setuju Nggun, tapi dia trauma akan kejadian yang dulu menimpa ayahku, dia takut itu akan terjadi”
“kamu pernah denger kan keyakinan orang-orang desa, bahwa pria dari desaku enggak boleh menikah dengan gadis dari desamu” Reva menjelaskan cerita takahayul di Desak mereka, yang katanya bila gadis dan lelaki antara desa mereka menikah maka yang wanita akan menjadi janda secepatnya, seperti halnya yang telah terjadi pada ibu Reva. Tapi Anggun selalu berfikir itu hanyalah mitos belaka.
Garis hidup seseorang hanya diatur oleh Tuhan, bukan manusia yang percaya begitu saja dengan apa yang mereka dengarkan. Seseorang pasti akan mengakhiri hidupnya dengan kematian, jika tidak sekarang mungkin besok atau suatu saat nanti, tapi kita tidak tahu.
“lalu, apa kita mesti percaya mitos seperti itu?” Anggun yang sepenuhnya sangat tidak menyetujui keputusan itu.
“aku memang enggak percaya, tapi ibuku sangat mempercayainya karena dia yang mengalaminya, ibu ditinggal ayah saat ku masih dalam kandungan” tutur Reva menjelaskan, dia memang sangat menyayangi ibunya, hal itu salah satu yang membuat Anggun mengaguminya selain ketampanannya.
“tapi ku yakin itu hanyalah takdir Tuhan, dan semua orang pasti akan mengakhiri hidupnya dengan kematian, aku enggak mau pisah dengan kakak aku sayang kakak.” Anggun mulai terlihat sangat ketakutan untuk berpisah dengan Reva.
“ya, aku pun sama sepertimu, tapi aku enggak berani menentang ibu, dia yang telah membesarkanku tanpa peran seorang suami”
“baiklah kak, aku mengerti, jangan pernah menentang ibumu kak” ucap Anggun dengan mata berkaca-kaca, namun ia langsung berlari agar tak dilihat Reva. Namun Reva mengejar dan menarik Anggun ke dalam pelukannya. Saat itu langit diselimuti awal tebal. Kemudian jatuhlah butir-butir air dari langit, yang membasahi mereka berdua di taman kota.
“Anggun maafkan aku, aku enggak bisa mempertahankan cinta kita, aku memang pengecut, aku enggak bisa berbuat apa-apa” aku Reva
Anggun hanya terdiam dalam pelukan Reva, dia tetap menangis.
“Aku enggak bakal nyari pengganti kakak” bisik Anggun dalam benaknya.
Kemudian Reva melepas pelukannya. “kamu jangan nangis lagi ya, kamu pasti dapat yang lebih baik dari aku” kata Reva sambil mengusap air mata yang di wajah Anggun yang sudah berbaur dengan air hujan. Kemudian mencium kening, mata dan bibir Anggun. Anggun membiarkannya, dia hanya terdiam.
Semenjak kejadian malam itu, hidup Anggun mulai berubah. Anggun yang biasa terkenal jail dan ceria, kini berubah menjadi Anggun yang pemurung, pendiam, dan tak pernah tertawa, meski itu hanya untuk tersenyum sedikit. Semakin hari wajahnya semakin pucat lesu. Hingga akhirnya kondisinya semakin memburuk, jatuh sakit dan harus di opname.
Seminggu ini Anggun koma di rumah sakit, dan seperti biasa ibunya selalu berada di sisi anaknya. Ibu Anggun sangat terkejut saat melihat anaknya tiba-tiba mengigau “Kak Reva… kak reva… kak Reva!!!”. Lalu Ibunya segera memanggil dokter.
Setelah diperiksa, Dokter mengatakan bahwa suhu tubuh Anggun sangat tinggi, detak jantungnya juga tidak teratur, lalu dokter menyuruh Ibu memanggil Reva. Sebenarnya, Anggun memang mempunyai penyakit jantung, namun sudah lama tak pernah kambuh, sampai sekarang ini.
Keesokan harinya Anggun sadar dari komanya. Dia membuka matanya secara perlahan, dan melihat sekeliling.
“Ibu!!!” anggun melihat ibunya tertidur di sampingnya. Air matanya mulai mengalir, dari ujung mata membasahi pipinya.
“kamu udah sadar sayang” ibu Anggun terbangun, Anggun segera mengusap air matanya yang membalut wajahnya. “ibu, udah makan, pasti belum, ibu pulang aja ya, aku nggak apa kok sendiri”
“Tapi nak…” perkakataan ibu diputus” uda nggak apa kok bu…”
“ya sudah, ibu pulang ya, ayahmu pasti juga udah mau pulang sekarang” sebelum pulang ibu mencium kening Anggun.
Beberapa hari di Rumah sakit, sosok yang diharapkannya datang tak kunjung datang menghampirinya. Semakin hari harapannya semakin pupus bersamaan dengan kondisinya yang semakin melemah.
Di suatu malam Anggun tersadar, dia memandang sekelilingnya, tak ada siapa. Saat itu semua keluarga tidur di luar ruangan Anggun.
“Tuhan, inikah akhir hidupku?” Anggun tak dapat membendung air matanya, mengalir begitu saja menyiram wajahnya yang pucat pasi.
“apa arti kesetiaan saya selama ini? Apa salah saya? Mana keadilanmu? Sedari kecil saya selalu menderita, dan kini saya harus terluka lagi, entahlah, apa gunanya saya di dunia ini?” sedu Anggun dalam hati.
Keesokan harinya, kondisi Anggun sangat memprihatinkan, seakan tak ada harapan hidup lagi. Detak jantungnya semakin meningkat, sang ibu sangat gelisah, ketika menyaksikan sang anak yang sedang ditangani Dokter.
Saat dokter sedang memeriksa Anggun, Reva tiba-tiba datang. Seiring keluarnya dokter, Reva pun sampai di antara keluarga Anggun.
“Bu, gimana keadaan Anggun?” tanya Reva pada Ibu Anggun.
“begitulah Va, kondisi Anggun sangat buruk sekali” ucap Ibu sambil meneteskan air mata.
“Ibu, kita harus terus berdoa dan berdoa, jangan menyerah, masih ada harapan” kemudian dokter selesai menangani Anggun. Saat dokter keluar dari ruangan Anggun, Ibu dan Reva menghampirinya.
“gimana dok, Anggun nggak apa-apa kan?” tanya ibu.
Dokter hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“dok anak saya baik-baik saja kan dok?” tegas ibu sekali lagi,
“semua sudah kami lakukan semaksimal mungkin, namun…” Dokter menggelengkan kepalanya lagi.
“apa?” ibu langsung pingsan setelah mendengar semua itu, kemudian dokter membawanya ke ruang pengobatan. Sementara Reva masuk ke ruangan Anggun. Dia menuju sisi Anggun, kemudian menggenggam tangan Anggun.
“Anggun… bangun sayang, bangun!! Ini Reva, ayo bangun, kamu sayang aku kan?, please jangan tinggalin aku, Nggun!!!” teriak reva sambil mengguncang Anggun. Kini Reva benar-benar menangis, lalu ia memegang kepalanya sendiri dengan kedua tangannya sambil menangis.
Lalu…
“Kak Reva…” Reva mendengar suara itu, lalu ia membuka matanya, benar, ternyata Anggun yang memanggilnya.
“Anggun!! Kamu masih Hidup” Reva langsung terbangun dari duduknya, dan mengelus pipi Anggun.
“ya, hanya untuk bertemu kakak” jawab Anggun.
“aku panggil dokter dulu”
Baru akan berbalik badan…
“kak tunggu!!” sambil memegang tangan Reva.
Lalu Anggun meletakkn jari telunjuk kanannya di bibir.
“kak, aku hanya sebentar, hanya 15 menit, aku udah menunggu saat ini, aku nggak mau semua tahu” ucap Anggun
“kamu jangan ngomong gitu, kamu akan tetap bersama kakak” Anggun hanya tersenyum lalu berkata “aku mencintaimu, sangat mencintaimu, dimanapun aku berada akan selalu mencintaimu”
“aku juga mencintaimu” balas Reva
“kak, aku.. aku nggak mau kakak menentang Ibu kakak, demi aku, aku akan selalu melindungi dan menyayangi kakak” tutur Anggun
“nggak, kamu harus tetap hidup sama aku, kamu nggak boleh pergi!”
Tiba-tiba, nafas Anggun tersedat, detak jantungnya meningkat, namun masih bisa ngomong patah-patah.
Reva memeluknya dengan erat, seakan tak akan melepaskannya. Anggun juga membalasnya.
“Aku.. mencintaimu… kak”
“aku juga, sangat mencintaimu”
“semoga kau bahagia kak” kemudian Reva merasakan pelukan Anggun semakin merenggang, lalu perlahan tangan Anggun terlepas dari tubuhh Reva.
“Anggun… Anggunnn!!! bangunnnn!!! Kamu nggak boleh pergi!!!´teriak Reva sambil mengguncang tubuh Anggun. Namun Anggun tetap terdiam dengan mata tertutup, tapi seulas senyum tersungging di bibirnya. Bagi Reva, itu adalah senyum termaniis yang pernah dilihatnya, dan tak ada yang memilikinya selain gadis yang saat ini berada di pelukannya.
THE END
Cerpen Karangan: Desak Putu Alit Santiani
Facebook: dewalovedesak[-at-]yahoo.co.id
Aku Desak, dari Bali, tepatnya Singaraja. aku sekoalah di SMKN 3 denpasar kelas XII jurusan Akomadasi Perhotelan.

Ketika Hujan Turun

Kenangan bersama orang yang pernah kita sayang tidak akan pernah terlupa begitu saja. Kadang kala kita mengingatnya di waktu-waktu tertentu. Namun, jangan terus terpaku pada kenangan itu karena semua itu masa lalu yang tak akan bisa terulang lagi.
Sore ini hujan cukup lebat mengguyur kota Surabaya. Terlihat seorang gadis termenung di balkon kamarnya sembari menatap hujan yang tak kunjung reda semenjak siang tadi. Pandangannya kosong ke arah depan. Sesekali air matanya jatuh, memorinya memutar kejadian-kejadian yang terjadi di masa lampaunya.
“Dhea, aku serius kamu mau gak jadi pacar aku?” ucap Alex.
“tapi Lex, kita baru kenal bagaimana mungkin kamu bisa mengatakan semua itu” ujar Dhea.
“aku juga tak tahu Dhea, yang jelas perasaan ini ada sejak pertama aku mengenalmu di toko buku waktu itu”
“tap, tapi aku gak yakin sama semua ini Alex. Aku butuh waktu”
“aku akan tunggu sampai kapan pun itu Dhe”
“bisa kamu tunggu aku hingga tiga hari kedepan?” tanya Dhea.
“apapun itu Dhe” jawab Alex.
Dhea tersenyum “aku ada kelas, bye Lex” ucapnya kemudian meninggalkan Alex di kantin dan berjalan menuju kelasnya.
“kamu kemarin kemana Ky?”
“kemarin aku di rumah aja kok Dhe, memang kenapa?”
“kamu gak bohong sama aku kan Ricky?” ujar Dhea tak yakin.
“ya enggak lah, kan kamu tahu sendiri kalau aku kemarin lagi gak enak badan. Emang kenapa sih Dhea?” tanya Ricky.
“kemarin ada temenku lihat kamu jalan sama mantan kamu, kamu ada hubungan sama mantan kamu lagi?” lirih Dhea.
“ya ampun Dhe, aku gak mungkin kayak gitu. Kemarin aku beneran gak kemana-mana. Lagian mantan yang mana sih?”
“udahlah Ky, kamu jujur aja. Kamu ada hubungan kan sama dia”
“Dhea dengerin aku. Aku gak ada hubungan apa-apa sama mantan aku, aku sayang sama kamu Dhe”
“kamu bohong Ky, aku tahu itu”
“kamu gak percaya sama aku Dhe”
“aku udah capek ngertiin kamu terus Ky, capek. Kamu udah sering boongin aku selama ini Ky. Aku mohon kali ini kamu jujur sama aku”
“Dhea, aku udah jujur sama kamu, aku beneran gak ada apa-apa sama mantan aku. Kalau kamu masih gak percaya sama aku mendingan kita putus aja”
“oke kalau itu mau kamu. Aku bener-bener kecewa sama kamu Ky” ucap Dhea kemudian beranjak dari bangku taman.
“kita udahan aja Vin”
“kenapa Dhea?” sahut Vino.
“aku gak sanggup lagi pertahanin hubungan ini Vino, kamu gak pernah peduli” jelas Dhea.
“oke kalau itu mau kamu Dhe, maaf bukannya aku tak peduli lagi, tapi aku menjaga perasaan sahabatku” ujar Vino.
“maksud kamu?”
“tentu kamu mengetahuinya Dhe, Leo menyukaimu”
“Leo?”
“iya Leo, dia juga pernah kan mengutarakan perasaannya ke kamu”
“iya, tapi aku menolaknya Vin, jadi apa hubungannya dengan dia?”
“aku mau menjaga perasaan Leo, Dhe”
“hmm oke. Itu mau kamu Vin, menjaga perasaan temanmu tapi tak bisa menjaga perasaanku. Ini yang dulu kamu sebut sayang Vin?”
“bukan itu maksud aku Dhea, lebih baik aku mengalah demi dia”
“oke Ham, thanks buat semuanya” ujar Dhea kemudian meninggalkan Vino di Cafe tempat favorit mereka.
“kenapa sih aku belum bisa lupain semua tentang kalian semua” gumam Dhea sangat pelan.
“kamu kenapa Dhea?” seseorang menepuk pundak Dhea. Dhea tersadar dari lamunannya, dan berbalik.
“eh kak Rendy ngagetin aja, gak apa-apa kok kak”
“yakin? Kakak perhatiin dari tadi kamu ngelamun terus loh ngeliatin hujan”
“huft” Dhea menghela nafas berat kemudian mengalihkan pandangannya keluar.
“kamu ada masalah? Cerita aja sama kakak” pinta Rendy.
“aku ingat sama mereka terus kak” Rendy mengernyit tak paham. Dhea yang melihat ekspresi kakakknya langsung melanjutkan kata-katanya.
“setiap hujan turun aku pasti ingat sama mereka kak”
“mereka siapa maksud kamu Dhe?” tanya Rendy.
“mantan-mantanku” jawab Dhea singkat.
“Alex, Ricky, dan Vino?” tebak Rendy. Dhea mengangguk pelan.
“lupakan mereka Dhe, hidup kamu harus terus berjalan meski tanpa mereka” ujar Rendy.
“aku tahu itu kak, tapi sulit. Hujan selalu mengingatkan aku tentang mereka”
“bisa kamu cerita kenapa kamu ingat mereka saat hujan?” pinta Rendy.
“Alex mengutarakan perasaannya saat hujan turun dan dia pergi begitu saja tanpa alasan, Ricky, orang yang paling aku sayang pergi saat hujan baru saja reda hanya karena keegoisanku, dan Vino, orang yang membuat aku bisa melupakan Ricky, dia pergi saat hujan turun kak. dari situlah aku gak bisa melupakan mereka apalagi setiap kali hujan turun”
“kakak mengerti perasaan kamu sayang, tapi apa kamu mau hidup dalam bayang-bayang mereka semua?” Dhea menggeleng.
“makanya kamu harus bisa lupain mereka, mereka juga belum tentu memikirkan kamu Dhea”
“huft, kakak benar. Sudah saatnya aku melupakan semua tentang mereka. Tapi apa aku bisa kak?”
“pasti bisa, kamu harus yakin kalau kamu bisa lupa semua tentang mereka”
“tapi hujan…”
“jangan pernah menatap hujan lagi biar kamu gak ingat sama mereka. Sibukin diri kamu terutama saat hujan turun” Rendy memotong ucapan Dhea
Dhea tersenyum “thanks kak” ucapnya kemudian memeluk kakak laki-lakinya itu.
“sama-sama Dhea” sahut Rendy membalas pelukan Dhea.
Cerpen Karangan: Aisyah
Facebook: aisyah ingind cendrija

Rembulan Bukan Matahariku

Desir angin tak membuatnya bergeming, sesekali ditatapnya rembulan yang redup berselimut mendung tak ada kerlip bintang disana, buram… sunyi malam itu, nyanyian jangkrik di pematang sawah seberang rumahnya menjadi teman kesendiriannya, serta telepon seluler yang selalu di perhatikannya, terkadang suara Bapak yang berdecak mengomentari berita di televisi terdengar. Di teras rumahnya Nisa duduk termangu, sesekali mengusap butir-butir bening yang mengalir dari sudut matanya.
“ya Rabb… kenapa dia masih selalu hadir dalam ingatan, dan pikiran ini?” gumamnya pelan, mengiba.
Rasa bersalah sekaligus sakit yang menggerogoti ulu hatinya sepertinya belum bisa sembuh. kejadian 4 bulan silam masih lekat di ingatan. “maafkan aku… aku tak sanggup mengatakannya padamu…”. sebuah pesan singkat namun tak sesingkat itu menghapusnya, tersimpan dalam memori otak. andai saja ada tombol delete otomatis di otak ini mungkin tak akan jadi masalah.
Setelah itu tak ada lagi pesan-pesan singkat. hanya bayang-bayang panjang yang menari-nari menggiring pada kondisi yang susah untuk dimengerti, semua dirasa suram, hitam…
“Aku ikhlas… akan terus berusaha untuk ikhlas”. terbayang sosok perempuan yang samar sama sekali tak dikenalnya. terasa perih untuk sekedar membayangkannya saja. Rasa bersalah menggelayuti pundaknya, seandainya ia tidak meninggalkan orang yang sangat ia kasihi itu, mungkin saat ini ia yang bersanding dengannya. ah, adakah yang salah dengan takdir? bisik batinnya meronta.
Sosok Rizal yang didamba kan menjadi imam untuk masa depannya kini hanya tinggal sesosok kenangan. setelah pesan singkat itu, dia benar-benar pergi dari kehidupan Nisa. Sakit itu karena betapa singkat semua terjadi betapa cepat terganti.
“maafkan aku kak, aku tak ingin berpisah darimu kak…” terisak Nisa saat terakhir ia bertemu dengan Rizal, kenyataan bahwa ia harus mengikuti keluarganya pindah ke luar kota membuat Nisa begitu terpukul.
“yang sabar ya dik… tenangkan hatimu.. aku kan berusaha ikhlas semua demi orangtuamu”. digenggamnya jemari Nisa seakan tak ingin angin pun memisahkan tangan mereka.
Derai air mata pun mengiringi kepergiannya, sungguh dalam munajatnya tak pernah terlewat harapan akan kebersamaan lagi.
Nisa menyeka genangan airmatanya, hawa dingin malam kian dirakan menusuk, ah, semua itu kini tinggal kenangan, bisiknya lirih. “Ambillah mataharimu, kau sekarang berhak atasnya…”
Betapapun besar perasaanya untuk Rizal, kini tak ada artinya lagi. Rizal lebih memilih bersanding dengan perempuan lain daripada harus menunggunya kembali. Sebuah kenyataan yang harus diterimanya dengan lapang dada, dan berbesar hati dengan semua itu.
Hatinya berdesir, mengisyaratkan untuk tetap tegar. Sang rembulan malam beringsut pelan ke arah Barat, ditatapnya dengan lekat, hal yang sangat disukainya berlama-lama menatap rembulan membuat hatinya lebih tenang. Ada gurat penyesalan pada raut mukanya, dalam hatinya bergumam “Mungkin Allah cemburu padaku, aku terlalu mencintai mahlukNya, hingga ibadahku, tindakanku dan semua yang kulakukan tidak semata-mata karenaNya, tapi karena agar Dia merestuiku dengannya. “Ya, aku sadar, aku memang salah. Ampuni aku ya Rabb… harusnya ku jaga perasaan ini dengan tidak menjalin hubungan dengannya. Ampuni saat ku bersamanya ya Rabb…” rintih Nisa dengan penuh harap.
“Nisa… ngapain kamu di luar? sudah malam nduk, cepat masuk! dingin-dingin begini kok di luar?” suara umi dari dalam rumah memecah lamunannya.
“iya mi… sebentar lagi…” sahut Nisa. sebelum beranjak ia kembali menatap sang rembulan, “kau tetep indah meski berselaput mendung”. bisiknya perlahan. dan selamanya kau tak kan pernah menjadi matahari.
5 bulan berlalu, hari-hari Nisa disibukkan dengan pekerjaan kantor, dan kegiatan di luar jam kantor yang digunakan untuk mengajar ngaji anak-anak. semua dilakukan agar ia bisa memperbaiki kehidupannya dan juga berusaha untuk mengubur kenangan bersama sosok Rizalnya itu. meskipun belum sepenuhnya hilang dari ingatan setidaknya konsentrasinya sudah kembali membaik.
Senja itu tampak merona, menghias cakrawala, burung-burung tampak terbang kebali ke sarangnya, mencari perlindungan dari gelap dan dinginnya hari yang kan berganti menjadi malam. Begitupun dengan Nisa, ia sudah berkemas, dan bangkit dari duduknya untuk segera pulang dari tempatnya mengajar ngaji. Tapi langkahnya kemudian tertahan.
“maaf bunda, kalau boleh tau bunda ini sudah ada yang mengkhitbah belum ya?” pertanyaan yang polos dari orangtua muridnya yang terbiasa memanggilnya bunda itu membuatnya sedikit salah tingkah.
“insyaallah belum bun, ada apa memangnya bun?” jawab Nisa dengan senyum simpul.
“alhamdulillah kalau belum bunda.. saya punya keponakan, namanya Ilyas insyaallah ia orang yang sholeh, saya melihat sepertinya cocok dengan bunda.” jawab ibu itu dengan ceria.
“ah… bunda bisa aja…” wajah Nisa tampak bersemu merah, ia pun menunduk tak memberikan jawaban dan berpamitan pulang.
Dalam perjalanan pikirannya coba menerka nerka, mungkinkah ini jawaban dari Allah atas munajat yang ia sampaikan tiap-tiap sujudnya di sepertiga malam? mungkinkah Matahari itu kan segera muncul esok? senyum tipis tersungging di bibirnya, “Wallahu a’lam” bisiknya dalam hati.
Cerpen Karangan: Lylik Choir
Blog: lilikchoir89.blogspot.com
Facebook: lylikchoir[-at-]yahoo.co.id

Siapa Dia?

Sesak nafasku sesaat melihat seseorang sedang menggenggam tangannya dengan erat, berambut ikal panjang, tinggi semampai, cara berjalannya bagaikan macan lapar saja. Hanya berdua di taman dekat rumahku, tempatku dan dia biasa bertemu. Dan kali ini dia tak bersamaku, namun bersama seorang wanita yang tak aku kenal. Padahal hari ini ia ada janji untuk bertemu denganku disini. Taman yang biasanya terlihat indah dan sejuk, kini terasa kering kerontang dan panas karena pemandangan yang baru lima detik ku lihat dengan dua bola mataku ini.
Aku terduduk lemas di bangku ayunan yang biasa kugunakan untuk bercanda dengan wahyu. Di samping pohon cemara, yang tertutupi oleh pohon mangga. Sesaat fikiran negatifku menjulang tinggi ke atas ketika aku lihat hal ini, hatiku terasa seperti sedang diiris lalu dikucuri oleh jeruk nipis. Otakku penuh dengan darah panas yang mengalir sangat deras, di penuhi oleh fikiran negatif yang tak bisa di logika, jantung yang aku punyai sudah berdetak sangat kencang, yang kurasakan sekarang badanku mulai lemas dan tak kuat berdiri.
Siapa dia? Yang berjalan di samping Wahyu. Aku tak percaya dia tega melakukan hal ini padaku, sampai disinikah cintanya padaku? Yang setiap hari ia berkata sumpah bahwa ia mencintaiku dan tak akan pernah melepaskanku walaupun segalanya terjadi, ucapan-ucapan manis yang selalu dilontarkannya padaku. Janji setianya yang tak akan pernah ku lupakan seumur hidupnya, bahwa hatinya telah buta kepada perempuan manapun selain aku. Sumpah Qur’an yang di lakukannya di depanku hingga berulang sampai lima kali terucap dari mulutnya. Apakah kupingku ini telah rusak karena salah mendengar bahwa ia sudah bersumpah semanis itu, sehingga aku sungguh terlalu mempercayainya hingga sekarang ini.
Setelah kemarin malam aku di antarkannya ke rumah sakit karena sakit lambung yang ku derita, yang masih tergambar jelas bayangan ia kemarin di waktu ia mengantarkan aku ke ruangan yang berwarna putih, yang ia selalu saja memaksakan dirinya untuk ikut mengantarkan aku masuk ke ruangan itu hanya karena ia ingin mengetahui makanan apa sajakah yang tak boleh ku makan di waktu aku lemah seperti itu, dan ia bertanya secara mendetail mengenai penyakitku, obat yang harus di tebus ke apotek di tanyai nya pada dokter secara menyeluruh, dan ia mencatatnya. Di apotek manakah ia harus membeli, di jam berapakah ia harus datang ke rumahku untuk memastikan apakah aku sudah meminum obat secara sempurna, ia tau semua hal yang harus dilakukannya, ia tau semuanya tentangku.
Sepulangnya aku di suapinya dengan semangkuk cemoe dan dua buah kue kimyen isi ayam kesukaanku dengan penuh perhatian. Di saat aku mulai mual dan makanan yang aku makan akan keluar dari perutku, ia selalu menegakkan leher dan badanku, kepalaku tak boleh di tundukkan, masih teringat dengan jelas saat itu tangan kirinya memegangi daguku agar aku tetap tegak dan aku tak menunduk, hal itu membuat aku tak jadi memuntahkan semua yang ku makan. Tangan kanannya memegang tanganku dengan halus, agar aku kuat menahan rasa mual ku ini. Dengan kata-kata lucunya, agar aku tertawa dan terhibur sehingga aku bisa melupakan rasa sakit yang ku derita ini. Beberapa menit setelah itu aku tak lagi merasakannya, mual yang tadi kurasakan hilang karena kata-kata lucunya yang setiap detik mengiringi aku bernafas dan membuatku seakan-akan aku sehat sekali. Setelah rasa itu hilang, ia kembali menyuapiku dengan kata-kata lucunya lagi seperti, “6513 disini pilot helikopter tanpa baling-baling, ngeeng… ngeeeng… helikopter ini kehabisan bahan bakar dan akan segera mendarat di goa terdekat, harap bersiap… ciaa..!!”. kalimat itulah yang di ucapkannya ketika ia menyuapkan satu sendok cemoe ke mulutku.
Sendok dan mangkok cemoe itulah yang menjadi saksi bisu perhatiannya terhadapku. Ia selalu melarangku pergi-pergi yang tidak begitu penting bagiku, ia selalu marah sekali jika aku melanggarnya, tapi ia selalu perhatian padaku jika terjadi sesuatu yang menimpaku seperti sekarang ini. Ia melarangku karena ia kuatir dengan kondisi yang sekarang ini ku derita. Jika ia melarang sesuatu kegiatanku, itu pasti ada alasan dan maksudnya agar tak terjadi apa-apa dengan keadaanku. Pernah sesekali aku melanggarnya, tapi sesuatu yang tak di inginkan benar terjadi padaku. Dan ia tau apa yang harus di lakukannya padaku jika terjadi hal ini.
Ia paham segala hal mengenaiku, mulai dari kebiasaanku, tabiatku, kepribadian yang kumiliki hingga semua mengenai hal-hal yang ku benci ataupun hal-hal yang ku sukai. Ini kan yang di maksud dengan perhatian dan kasih sayang? Ini kan yang disebut-sebut semua orang yang sedang jatuh cinta sebagai “pengertian”? Bukankah ia sangat menyayangiku dengan bukti yang sudah jelas tergambar seperti itu?. Pertanyaan semacam inilah yang sekarang ini melanda otak dan fikiranku, ada saja prasangka buruk dan pertanyaan aneh yang selalu saja bermunculan di otakku sekarang.
Benarkah dia menyayangiku? Bersungguh-sungguhkah sumpahnya itu di hadapanku? Atau hanya ucapan manisnya agar aku percaya dengannya? Agar ia dapat mengelabuhiku dengan mudah? Mungkinkah benar seperti itu? Tapi tentang pertanyaan mendetail tentang penyakitku? Tentang obatku? Dan usahanya memegangi daguku agar tetap tegak? Helikopter tanpa baling-baling yang kehabisan bahan bakar?.
Ah .. apa ini? Fikiran apa ini, apa maksud dari semua ini. Otak macam apa yang ku punyai ini? Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lebih baik aku pulang saja daripada terus menangisi suatu fikiran yang sekarang sedang mengguncang otakku, dan aku sekarang harus kuat berdiri. Ya, berdiri dari ayunan ini. Aku sudah berdiri, dan selanjutnya aku akan membalikkan badan dan menganjakkan kaki meninggalkan semua kenanganku bersamanya.
Selamat tinggal sayang semoga kau bahagia bersamanya. Mungkin dia memang lebih baik dariku, dan satu yang perlu kau tau bahwa air mata ini adalah air cinta kasihku padamu yang takkan pernah kering selamanya walaupun aku tak memilikimu lagi. Aku sangat menyayangimu, selamat tinggal sayangku. Kau kan selalu ada di hatiku, dan cinta ini tak akan pernah pudar walaupun di telan waktu. Ingatlah sayang, di saat kau pergi dengan yang lain aku rela menjauh demi kebahagiaanmu. Namun jangan pernah berfikir, aku akan membencimu. Dan disaat kau merasa kesepian, datanglah padaku karena kebahagiaanku bukan di saat memilikimu, tetapi di saat melihat senyum dan tawamu.
Tolong bantu aku melupakan semua kenangan ini, aku tak sanggup berdiri dan meninggalkan tempat ini. Aku pasti bisa, aku harus berusaha menghapus air mata ini. Dan sekarang aku sudah membalikkan badan, hanya tinggal membuka mataku perlahan lalu menghapus air mata kepedihan ini. Berat sekali rasanya, ku tak sanggup membukanya. Hancur sudah perasaanku jika ku buka mata ini. Namun perlahan mulai terbuka, iya aku bisa, aku tak boleh menyerah begitu saja, ayolah mengeringlah air mataku. Dan sekarang ku sudah membuka mataku dan…
“happy birthday to you…”
“happy birthday to you…”
“happy birthday, happy birthday, happy birthday lovely…”
“selamat ulang tahun…”
“selamat ulang tahun…”
“selamat ulang tahun sayang.. selamat ulang tahun..”
“tiup lilinnya.. tiup lilinnya.. tiup lilinnya sekarang juga, sekaraaanng juuuga, sekaraaaang jugaa…”
“potong kuenya.. potong kuenya, potong kuenya sekarang juga, sekaraaang juuuugaaa…”
Tepuk tangan dari semua teman-teman wahyudi bersama dengan wanita bertubuh tinggi semampai itu, dan semua pertanyaanklu terjawab sudah yang ternyata adalah ibu kandung wahyudi yang baru saja pulang dari Saudi Arabia, ikut mengiringi tetesan air mataku yang sudah tak sanggup lagi ku menahannya, terus mengalir. Namun saat ini bukan tetesan air mata kepedihan lagi, melainkan tetesan air mata kebahagiaan.
Cerpen Karangan: Dwi Damayanti
Facebook: Dwidamayanti11ips1[-at-]hotmail.com