Ini sudah cangkir cappucinno keempat yang telah kuminum malam ini,
tak peduli sudah 3 jam aku duduk di café ini. Pelayan itu pun sesekali
memalingkan tatapannya dari majalah yang ia baca ke arahku. Mungkin dia
berfikir bahwa aku tidak kekembungan minum cappucinno dengan cangkir
lumayan jumbo sampai empat cangkir. “Tenang aja mbak, mungkin nanti
malah ada cangkir kelima, keenam, ketujuh, dan seterusnya. Aku pun tidak
peduli.
Glek.. glek.. tegukan demi tegukan dari segelas cappucinno yang aku
nikmati sembari menemani lamunanku di café ini untuk mengenang kenangan
kenangan yang pernah terjadi di café ini dengan seseorang. Layaknya
layar proyektor kuno yang memutar scene demi scene indah saat
bersamanya, mataku tertuju pada tempat duduk di pojok ruangan yang
sering kududuki dan minum cappucinno sambil makan waffle dengannya.
2 tahun lalu. Di café yang sama.
Wajahnya yang manis, kulitnya yang putih bersih, rambutnya yang hitam panjang. Dia menunggu responku akan secangkir cappucinno yang baru saja kucicipi.
“Gimana rasanya?” tatapnya penasaran, matanya memandangku tanpa sedikit pun berkedip seperti tak sabar menunggu jawabanku. Aku pun mengerutkan dahi layaknya seorang tester sejati.
“Hmm… Ruar biasa Uenak!” Seruku sambil tersenyum padanya.
Dia pun membalas senyumannku dengan senyumannya yang manis dan mencubit pipiku dengan lembut, gemes melihat ekspresiku yang berlagak tester sejati.
Wajahnya yang manis, kulitnya yang putih bersih, rambutnya yang hitam panjang. Dia menunggu responku akan secangkir cappucinno yang baru saja kucicipi.
“Gimana rasanya?” tatapnya penasaran, matanya memandangku tanpa sedikit pun berkedip seperti tak sabar menunggu jawabanku. Aku pun mengerutkan dahi layaknya seorang tester sejati.
“Hmm… Ruar biasa Uenak!” Seruku sambil tersenyum padanya.
Dia pun membalas senyumannku dengan senyumannya yang manis dan mencubit pipiku dengan lembut, gemes melihat ekspresiku yang berlagak tester sejati.
Ya, Dialah Monik. Monik dan Aku pertama kali bertemu di perpustakaan,
dia yang menabrakku saat membaca di perpustakaan. Di saat itulah awal
kami berkenalan.
Monik sering meminjam bukuku. Dan ia sering memintaku untuk membantunya mencari buku yang ia cari di perpustakaan, sebagai gantinya ia pun sering mentraktirku untuk minum secangkir cappucinno.
Monik bisa dibilang wanita yang multitalent karena ia bisa bermain piano, bernyanyi, nge-dance, ballet, bermain gitar, bahkan bermain drum. Aku sangat kagum padanya. Sedangkan aku tidak terlalu pintar dalam hal seni, aku sangat senang jika membuat suatu perhitungan ataupun mengerjakan soal teori yang bisa membuat orang pusing saat mengerjakannya. Hehehe..
Monik sering meminjam bukuku. Dan ia sering memintaku untuk membantunya mencari buku yang ia cari di perpustakaan, sebagai gantinya ia pun sering mentraktirku untuk minum secangkir cappucinno.
Monik bisa dibilang wanita yang multitalent karena ia bisa bermain piano, bernyanyi, nge-dance, ballet, bermain gitar, bahkan bermain drum. Aku sangat kagum padanya. Sedangkan aku tidak terlalu pintar dalam hal seni, aku sangat senang jika membuat suatu perhitungan ataupun mengerjakan soal teori yang bisa membuat orang pusing saat mengerjakannya. Hehehe..
Cappucinno Girl adalah panggilanku untuknya. Wanita manis ini bisa
dibilang sangat ketagihan dengan minuman Cappucinno. Karena ia mempunyai
impian mempunyai café koffee yang laris manis. Ia ingin membuat semua
orang senang dengan kopi dan cappucinno. Ia wanita yang sangat perhatian
dan penuh kasih sayang seorang ibu.
Pulang dari kampus, Monik sengaja mengajakku ke café yang katanya
minuman cappucinno-nya sangat enak dan paling top. Bangunan café itu pun
sederhana, atmosfer di café ini sangat menenangkan karena di dalam café
terdapat kebun bunga dan tumbuhan yang membuat sejuk.
Monik bercerita tentang café ini. Ia sering singgah di café ini sejak
SMP dengan ayahnya. Kata ayahnya kalau makan cappucinno itu bisa
membuat hati tenang dan melepas kepenatan dari kesibukan sehari-hari.
Ia pun memesan 2 cangkir cappucinno yang cangkirnya berbentuk love.
Ia pun tersenyum sambil meminum cappucinno itu. terlihat krim cappucinno
yang menempel di atas bibirnya seperti kumis. Aku pun tertawa kecil
melihat bibirnya yang belepotan krim cappucinno.
“Yohan? Haloo?” suara Monik membuyarkan lamunanku padannya. “Itu loh cappucinnonya diminum, pasti kamu bakalan ketagihan deh.”
“Yohan? Haloo?” suara Monik membuyarkan lamunanku padannya. “Itu loh cappucinnonya diminum, pasti kamu bakalan ketagihan deh.”
Bulan demi bulan kulalui bersama Monik, sungguh banyak momen indah
bersamanya. Aku merasakan bahwa aku makin mencintainya. Tetapi aku takut
jika aku merusak hubungan persahabatanku dengannya. Hampir tiap hari
aku berkunjung ke café itu. Aku tak merasa bosan sama sekali saat
bersamanya di café itu setiap harinya.
Dan hari ini, sepulang dari kampus aku sebenarnya ingin mengungkapkan
perasaanku selama ini padanya, tapi aku tak menemuinya di kampus jadi
kupikir bahwa dia tidak masuk kuliah hari itu. Aku pun membeli seikat
bunga mawar merah yang masih segar.
Dengan langkah pasti aku menuju ke rumahnya. Akan tetapi dari luar rumah aku melihat ada bendera kuning. Aku sangat terkejut, disana sudah ada tenda dan orang-orang berpakaian hitam.
Dengan langkah pasti aku menuju ke rumahnya. Akan tetapi dari luar rumah aku melihat ada bendera kuning. Aku sangat terkejut, disana sudah ada tenda dan orang-orang berpakaian hitam.
Perasaanku semakin tak karuan. Aku mencoba memasuki rumahnya,
melewati orang-orang yang menangis tersedu-sedu. “Apa yang terjadi
sebenarnya?” dalam hati ku berkata. Ku lihat di ruangan tamu orangtua
dan keluarga Monik menangis. “Dimana Monik?” tak terasa air mataku mulai
membasahi mataku. “Monik sedang tidur Han, doakan ya supaya tidurnya
nyenyak” Ibu Monik memelukku dengan eratnya. Aku pun melihat Monik
terbaring di peti jenasah yang telah dihias sedemikian indahnya. Monik
pun memakai gaun putih bersih, ia pun seperti sesorang putri yang sedang
tertidur dengan indah.
Aku pun hanya dapat berlutut dan menangis sejadinya saat membuka
tutup wajah Monik. “Mon, kenapa kamu cepet banget pergi, aku pun belum
sempat membuat kamu bahagia. Aku minta maaf ya Mon atas segala perbuatan
burukku ke kamu. Mon tadi aku beli mawar buat kamu, ini untuk
pengalaman, cinta, dan segalanya yang udah kamu berikan ke aku, tidur
yang nyenyak ya Mon. Aku mencintaimu.” Aku meletakkan mawar merah itu
kepangkuan Monik dan mencium dahinya. Rasanya sangat pedih dan hancur.
Ibu Monik pun menceritakan bahwa selama ini Monik terkena leukemia,
akan tetapi ia selalu memaksa ibunya supaya tidak menceritakan hal itu
pada temannya. Aku pun hanya bisa mengikhlaskan kepergian sahabat
tercintaku, Monik.
—
“Mas! Mas! Mas…! Cafénya udah mau tutup loh” Perkataan pelayan café membangunkanku dari lamunanku. “Oh iya Mbak maaf”
Saat beranjak dari sofa di café kenanganku bersama Monik itu, aku
pun seperti melihat Monik tersenyum manis dan melambaikan tangan padaku
dari tempat duduk yang sering kita duduki dahulu, Aku pun tersenyum dan
berkata perlahan “My Cappuccinno Girl, I love you.”
- TAMAT -
Cerpen Karangan: Bernardus Anggit Winahyu
Blog: bernardusanggit.blogspot.com
Penulis Muda .. Doakan Saya Ya .. Caiyoo
Blog: bernardusanggit.blogspot.com
Penulis Muda .. Doakan Saya Ya .. Caiyoo
No comments:
Post a Comment