Hari itu ketika ia dilahirkan dari rahim seorang wanita paruh baya,
tangisan darinya mengundang haru kedua orang tuanya. Ketika itu juga
disaat ia belum melihat dunia yang baru saja menyambutnya setelah
perjanjian dengan Tuhan telah disanggupi. Suara adzan dari bibir ayah
tercinta adalah hal pertama yang sengaja diperdengarkan tepat di depan
kedua telinga. Lalu diciumnya kening sang istri sembari memeluk harapan
yang baru saja dianugerahkan kepada mereka.
Rasa sakit yang teramat sangat, keringat yang bercucuran dengan
derasnya, dan darah yang mengalir kini terbayar sudah dengan lahirnya si
buah hati. Gelisah dalam penantian, resah yang mengganggu jiwa, dan
khawatir yang menggerogoti hati kini telah diusir pergi oleh pelukan
sang istri disertai kerasnya tangisan seorang bayi perempuan.
Larut dalam bahagia tak menyadarkan mereka bahwa malam telah datang
menghapus terang dan mulai menampakkan kegelapan. Walau demikian, mereka
sedikitpun tiada gentar menghadapi kenyataan karena keyakinan mereka
bahwa dia adalah lentera yang dapat memancarkan sinar terang dalam
kegelapan. Hari demi hari silih berganti, putaran waktu tak kan pernah
berhenti hingga “Nina Anugerah Qita” adalah nama yang diberikan ayah
kepadanya. Lengkap sudah kebahagiaan yang lama dinantikan, terpenuhi
sudah balasan atas kesetiaan dalam suatu ikatan yang sah.
Umur Nina kian bertambah artinya sisa hari-harinya di dunia terus
berkurang sampai “kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa..
hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”
merupakan lagu lama yang baru pertama kali diperdengarkan dan mencoba
terus untuk dinyanyikan. Airmata bunda tak tertahankan ketika Nina
melantunkan lagu itu dengan senyuman tulus menyertai setiap syair lagu
yang dinyanyikannya. Lalu rasa haru menyesakkan dada sang ayah tercinta
disela kesibukannya mencari nafkah untuk hidup mereka. Airmata dan rasa
haru tercampur menjadi satu membentuk harapan akan kebaktiaan seorang
anak terhadap orang tua yang tak kan pernah pudar rasa kasih sayang
serta cinta kepada anaknya.
Suatu malam, ketika Nina mulai beranjak remaja. Musibah datang
menimpa keluarga bahagia. Tiadalah hati dapat menyangka bahwa apa yang
dilakukan ayah menghadirkan musibah yang mengharuskan mereka terpisah.
Airmata menetes lagi, rasa haru hadir kembali sebab ayah terpaksa pergi
untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukan meski demi
menghidupi keluarga yang dicintai. Ayah kini telah pergi meninggalkan
sang istri, ayah juga pergi meninggalkan Nina yang tidak lagi bayi.
Hari-hari mulai berat dijalani, segala masalah yang datang terasa
menyudutkan. Namun kesetiaan seorang istri dalam menanti, dan kebaktian
seorang anak dalam berbuat adalah kekuatan untuk menjaga keutuhan
hubungan dari ganasnya godaan. Setiap hari, setiap malam, dan setiap
bunda sendiri, airmatanya berlinang mengingat semua yang pernah
dilakukan bersama suami tercinta sampai buah hati mereka sebesar ini. Ia
mengingat ketika pertama menjalin cinta, ia tak lupa saat-saat tertawa
bersama, ia mengingat ketika pertama mendengar tangisan dari Nina, ia
takkan lupa pengorbanan yang dilakukan suami untuk dirinya sebelum dan
setelah hadirnya Nina. Lagu yang pernah mereka nyanyikan bersama pun
tidak lepas dari ingatan bunda bahkan tak jarang ia menyanyikannya dalam
duka dan kesendirian.
Nina yang kini remaja mulai mengenal yang disebut cinta. Nina juga
sering bercerita kepada bunda tentang lelaki yang dapat membuatnya
merasakan tenang dan damai dalam hatinya. Bunda hanya terdiam
mendengarkan tanpa dapat memberi tanggapan dan ia hanya melanjutkan
hidup yang terbuai harapan. Anton, adalah laki-laki yang dimaksudkan
Nina. Anton adalah laki-laki yang berlatar belakang hampir sama dengan
Nina. Selain itu Anton juga merupakan lelaki yang hidup dengan apa
adanya dan ia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan keadaan keluarga
yang diceritakan Nina kepadanya. Anton mencintai Nina dengan tulus,
begitu pun Nina pada saat itu. Disela kesendirian bunda dalam menanti
kedatangan suami tercinta, Anton dan Nina semakin menampakkan keutuhan
hubungan mereka. Hubungan yang banyak menghadirkan rasa iri dari
teman-teman yang mengenal mereka. Bahkan tidak sedikit orang yang
mengatakan mereka adalah jodoh karena memandang kemiripan yang ada pada
wajah mereka berdua. Hal-hal seperti itulah yang semakin pula memperkuat
hubungan yang mereka bina bersama.
Tiga tahun berlalu, disaat ibu masih setia menunggu kehadiran suami
tercinta. Cinta Anton dan Nina belum tergoyahkan walau Nina tak jarang
mempermainkan cinta dan sayangnya Anton. Namun karena cinta yang tulus
dan sayang yang begitu besar dan mengingat setiap pengorbanan yang
pernah dilakukan, sesering apapun Nina membagi hatinya kepada laki-laki
lain, Anton selalu bisa memaafkan dan mempertahankan keutuhan hubungan
mereka. Suatu hari, Anton merencanakan sebuah kejutan yang nantinya akan
diberikan kepada Nina pada hari ulang tahunnya yang ke-21. Anton dengan
cinta tulusnya mulai menyisihkan sedikit dari uang sakunya yang memang
tak banyak untuk ditabung. Hari-hari Anton selalu dihiasi bayangan akan
kebahagiaan yang dirasakan Nina ketika nanti ia menerima kejutan
darinya. Anton bahkan sering membuat teman-temannya bingung akan
kelakuannya belakangan ini. Ia lebih sering tersenyum sendiri dan
kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah kata-kata yang tidak
biasanya. Melihat tingkah Anton yang berbeda dari sebelumnya, Bimo yang
merupakan teman baik Anton secara spontan bertanya kepadanya. “Kejutan
apa lagi yang akan kamu berikan kepada Nina disaat dia terus-terusan
menyakitimu?” ucapnya dengan pandangan sedikit sinis. Anton yang
mendengar pertanyaan itu pun dengan tenang menjawab, “Sesering apapun
Nina menyakitiku, seperih apapun hatiku, dan sebesar apapun kecewa yang
kurasakan. Rasa sayang dan cintaku kepada Nina jauh lebih besar
kurasakan dan rasa itulah yang selama ini menguatkanku!”. Bimo tidak
berhenti sampai disana, merasa belum puas ia kembali melontarkan kalimat
tanya kepada Anton. “Oh yaa, jadi kamu mempertahankan Nina yang selama
ini membagi hatinya untuk laki-laki lain hanya karena rasa sayang dan
cintamu yang besar? Apa balasan atas besarnya sayang dan cintamu kepada
Nina? Nggak ada Ton, nggak ada!” ucapnya kembali dan kali ini ia
bertanya dengan raut muka yang kecewa. Seperti pertanyaan pertama, Anton
menjawabnya dengan tenang bahkan lebih tenang, “Iya, aku akan terus
mempertahankan Nina sampai nanti aku merasa tidak mampu lagi untuk
mempertahankan dia di hatiku. Aku juga tidak pernah mengharapkan balasan
apapun atas besarnya sayang dan cintaku kepada Nina. Bim, hatikulah
yang memilih dia, bukan ragaku. Mungkin itu yang membuat aku melakukan
semua ini!”. Lantas apa bedanya dengan kita Bim, kamu yang terus menerus
menemaniku saat susah ataupun senang sampai kamu rela mengorbankan jiwa
dan ragamu hanya untuk mempertahankanku didekatmu? Balasan apa yang
pernah kamu dapatkan dariku atas semua pengorbanan itu Bim? nggak ada
Bim, belum ada!!”, ucap Anton kepada Bimo. Bimo yang merasa ditampar
oleh perkataan Anton hanya bisa terdiam merenungkan perkataan yang
keluar dari bibir Anton. Ia sadar bahwa perkataan Anton terhadap dirinya
memang ada benarnya, setiap apa yang kita lakukan tidak sepenuhnya
berharap ada balasan. Dan mulai saat itu Bimo tidak lagi berkata apa-apa
tentang kelakuan Anton. Melihat Bimo terdiam, Anton tidak tinggal diam.
Anton mengajak Bimo untuk pergi ke sebuah toko emas. Anton dan Bimo
kemudian memesan sepasang cincin bertuliskan nama Anton dan Nina.
Setelah ia selesai memesan, mereka kembali pulang dengan senyuman
menghiasi wajah keduanya. Bimo yang tadinya mendesak Anton untuk
meninggalkan Nina berubah mendukung dan Anton yang tadinya senang
bertambah gembira.
Tiga hari berselang, tepat pada hari ulang tahunnya Nina yang ke-21.
Anton pergi ke toko emas yang telah didatangi sebelumnya untuk menebus
cincin yang dipesan tiga hari yang lalu. Ketika cincin sudah ditangan,
Anton tidak langsung pulang. Ia bergegas memutar laju sepeda motor yang
dipinjamnya dari Bimo dan mengarahkannya ke sebuah toko bunga yang
jaraknya 20 menit dari toko emas tadi. Disana, ia membeli dua tangkai
bunga mawar yang masih segar dan dimintanya si penjual untuk mengemas
bunga mawar tersebut dengan rapi. Cincin dan bunga kini sudah ditangan,
sekarang tinggal menunggu Nina datang padanya. Nina yang ditunggu
akhirnya datang, dan apa yang diberikan Anton membuat Nina merasa sangat
bahagia lalu memeluk Anton dengan eratnya. Anton pun merasa senang
karena usaha yang dilakukan telah bisa membuat Nina bahagia menerima
pemberiannya.
Anton yang bahagia tiba-tiba terkejut mendengar kabar Nina yang telah
lima bulan menjalani hubungan secara diam-diam dengan seorang laki-laki
yang jauh lebih bisa menjamin hidupnya kedepan dibandingkan Anton yang
harus susah payah menabung guna membeli sesuatu untuk Nina. Anton
mencari kebenaran akan kabar yang didengarnya, dan ternyata benar. Atas
pengakuan Nina sendiri, Anton merasa sangat tersiksa. Siksaan yang
dirasakan Anton kian bertambah ketika Nina berkata bahwa ia tidak lagi
punya cinta ataupun sayang kepada Anton walau itu Cuma sedikit. Anton
yang senyum kini menangis, Anton yang berusaha kini sia-sia, dan Anton
yang bahagia kini berduka. Namun apalah daya, Anton dengan berat harus
berusaha meninggalkan Nina yang dulu dipatok sebagai calon istri bahkan
Nina dengan tenang menyarankan kepada Anton untuk melupakan dirinya
sebab Nina telah menemukan Anton yang dahulu pada laki-laki yang
bersamanya saat ini. Anton pun dengan terpaksa meninggalkan Nina, tapi
tidak hatinya karena dalam hati Anton bahkan yang terdalam sekalipun
masih ada Nina yang sulit tergantikan oleh wanita lain.
Seiring waktu terus berlalu, selagi bunda masih setia menunggu, dan
selama Nina tenggelam dalam kebohongan yang entah kapan ia memulainya,
nyatanya ia telah mahir. Anton sekarang menjalani sisa hidupnya dalam
duka yang bercampur kecewa melihat dan mendengar kebahagiaan yang
dijalani Nina dengan kekasih barunya. “Bunda, Anton mohon maaf atas
semua kesalahan Anton selama bersama Nina dan Anton bangga telah sempat
menjadi bagian dari keluarga bahagia ini”, ucap Anton kepada bunda Nina
dalam satu pesan singkat bersama airmata yang membasahi pipinya. Bunda
hanya terdiam saat mengetahui semuanya dan berdoa untuk kebaikan mereka
berdua. Semoga doa bunda dapat dikabulkan oleh Tuhan, seru Anton dalam
hati yang masih berharap sambil melangkahkan kaki lalu pergi.
Demikianlah kisah Anton dan Nina yang berhasil diabadikan dalam
ingatan dan dituangkan dalam bentuk tulisan oleh sang penulis cerita
dalam “Kesetiaan Separuh Jalan”. Semoga kisah ini dapat memberikan
manfaat bagi setiap kita yang menyempatkan diri membacanya. Amin Yaa
Rabbal Alamin…
Wabillahitaufik Wal Hidayah…
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Wabillahitaufik Wal Hidayah…
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Cerpen Karangan: Nicki R. Alpanchori
Facebook: Nicky Fals ( Untukmu Negeri )
Facebook: Nicky Fals ( Untukmu Negeri )
Bismillahirrahmanirrahim….
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepada saya untuk berpartisipasi dalam rangka mensyukuri segala nikmatNya yang ke_22 tahun terlewatkan, maka saya mencoba memaparkan sedikit kisah yang diharapkan mampu merubah akhlak serta tingkah laku kita dalam mengarungi sisa kehidupan di dunia yang sifatnya sementara ini. Suatu kisah yang diadopsi dari kisah nyata disebuah kampung kecil sebelah timur Pulau Lombok sepertinya menarik untuk sama-sama kita simak. Kisah ini menceritakan tentang kesetiaan seorang anak yang berujung perpisahan. Kisah ini sengaja ditulis sebagai bahan renungan untuk kita agar tidak melakukan hal yang sama. Nama, tempat, dan segala identitas dalam kisah ini telah disamarkan untuk menjaga keutuhan rahasia yang tersimpan didalamnya. Kisah ini juga telah mendapatkan bauran bumbu (tambahan atau pengurangan kata yang dianggap tidak perlu untuk diketahui pembaca) dari penulis namun tetap selaras dengan kenyataan yang memang ada pada “ waktu itu ”.
“Tak Ada Manusia Yang Sempurna”, adalah sebuah pernyataan yang mutlak kebenarannya sebab sifat “Kesempurnaan” itu semata-mata hanya dimiliki oleh Allah SWT. Dan tanpa pengantar yang sempurna juga, penulis mulai menggoreskan tinta hitam diatas kertas putih dengan mencoba merangkai kata-kata menjadi sebuah cerita yang InsyaAllah kebenarannya memang ada.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepada saya untuk berpartisipasi dalam rangka mensyukuri segala nikmatNya yang ke_22 tahun terlewatkan, maka saya mencoba memaparkan sedikit kisah yang diharapkan mampu merubah akhlak serta tingkah laku kita dalam mengarungi sisa kehidupan di dunia yang sifatnya sementara ini. Suatu kisah yang diadopsi dari kisah nyata disebuah kampung kecil sebelah timur Pulau Lombok sepertinya menarik untuk sama-sama kita simak. Kisah ini menceritakan tentang kesetiaan seorang anak yang berujung perpisahan. Kisah ini sengaja ditulis sebagai bahan renungan untuk kita agar tidak melakukan hal yang sama. Nama, tempat, dan segala identitas dalam kisah ini telah disamarkan untuk menjaga keutuhan rahasia yang tersimpan didalamnya. Kisah ini juga telah mendapatkan bauran bumbu (tambahan atau pengurangan kata yang dianggap tidak perlu untuk diketahui pembaca) dari penulis namun tetap selaras dengan kenyataan yang memang ada pada “ waktu itu ”.
“Tak Ada Manusia Yang Sempurna”, adalah sebuah pernyataan yang mutlak kebenarannya sebab sifat “Kesempurnaan” itu semata-mata hanya dimiliki oleh Allah SWT. Dan tanpa pengantar yang sempurna juga, penulis mulai menggoreskan tinta hitam diatas kertas putih dengan mencoba merangkai kata-kata menjadi sebuah cerita yang InsyaAllah kebenarannya memang ada.
No comments:
Post a Comment