Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring tanda hari berakhir,
dengan dihiasi wajah murid yang kusam terlihat seperti hape yang sedang
low bat, yah begitulah suasana sekolah kami, Nama ku Rezki Muhammad
panggilannya Rezki, yang duduk di 2 SMA bangku nomor dua terakhir paling
belakang dan kini tidak ada seorang pun di kelas.
Waktu menunjukkan pukul 16:45, sore yang paling melelahkan pikirku
mungkin dengan sholat ashar menjadi lebih tenang, setelah sholat lalu
mengambil kets hijau tua ku di samping sekitar jarak 2 meter dari
tempatku memasang sepatu, perempuan itu juga sedang memasang sepatu,
sepertinya habis sholat juga, “belum pulang?” Tanya ku agak sedikit
kepo, dia menatap sambil seyum dan kembali memasang sepatunya. Siapa
orang itu kenapa mirip sekali wajahnya dengan… ah sudahlah aku tidak mau
membahasnya lagi tentang dia.
Berjalan di trotoar Jakarta saat sore hari terasa terik masih
menyilaukan di kulit terasa panasnya terobati dengan angin dari barat
yang sejuk, “Ka..?” Sosok dari samping mengagetkan-ku “Ha..!!!”, “hm..
kaget ya? Maaf”, “hehe mengapa abis tiba tiba muncul gitu kaya
kun-kun-kun”, “eeh enak aja kuntilanak maksudnya?”, “haha.. Kenapa kamu
manggil?” ” Ini” sambil mengeluarkan barang elektronik yang tak asing di
lihat ku, “oooh hape gue, aduh sampe lupa, makasih banget gue gak tau
kalo gak ada lo tadi…”, “iya kal tadi pas pake sepatu aku liat jatuh
dari kantong celana” “ohaha maksih banget ya..” “Iya ka sama-sama”, “gak
usah panggil kak dong, panggil nama aja”, “oh iya nama”, “hh.. Bukan
maksudnya Nama gue!! Nama Gue Rezki”, “oh Rezki”, “iya Nama lo siapa?”,
perempuan itu senyum lalu menyebutkan Namanya. “Oh jadi Nama lo Rezki
juga?, Rezki Wirati, Namanya bagus kaya orangnya” kata ku agak ngegombal
sedikit pada anak itu, dan dia hanya tersenyum dingin, sepertinya anak
ini tidak suka humor atau gimana? Tapi dia perfect, “Aku duluan ya itu
ada angkot!” Katanya sambil bergegas, dan lagi lagi ia terseyum dan aku
pun membalasnya dengan senyum.
Lalu lalang kendaraan, warung remang-remang yang mulai menunjukan
cahayanya redup, inilah Jakarta saat Malam, di tepi gedung tinggi rumah
sederhana itu rumah-ku, home sweet home. “Assalamualikum”, “Walaikum
salam…” Waduh ada kucing gareng” sambil tertawa agak jengkel juga dia
kakakku Chika, tampak merangkak ke kolong meja, “lagi ngapain sih kak?”
Kata-ku sambil menaruh tas di sofa, “lagi mencari serpihan hatiku yang
hilang”, pikiran-ku langsung tertuju pada gelang hati miliknya yang
berserakkan “yadoooh”, “baru pulang? kemana aja?”, “sekolah lah emang
biasanya pulang jam segini kol!”, “kirain nongkrong dulu”, “nongkrong
diamana? Lawson, 7 eleven? Warteg? Ya enggak lah,” “ya udah, mandi sana
bau keringet kamu dek,” “iya tau hehe, mamah kemana ka?”, “di kamar tuh”
setelah bersalaman dengan ibu ku langsung mandi dan sholat magrib
setelah itu mengerjakan tugas puisi, ah sialnya kenapa puisi kenapa ga
cerpen aja? Mana gak tau judulnya apa”, waktu isya sudah tiba dan
begegas sholat setelah solat lanjut lagi mencari ide puisi. Yang
kepikiran cuma gadis itu dan senyumannya yang dingin.
Alarm pagi di blackberry-ku dengan gemericik air dan suara burung
membuat semangat dan ingin tidur lagi, tapi et hari ini ada tugas puisi
nilainya harus di kumpulkan, “Ya Allah….” Sekolah itu membosankan!.
karena biasanya ayah yang mengantarkanku berangkat sekolah” sekarang kak
chika yang mengantar naik motor matic, sekalian dia pergi kuliah.
sampai di kelas membosankan, another boring day and happend to me.
Tiba saatnya nama-ku dipanggil untuk maju, tidak punya bekal sedikit
pun tentang puisi itu, harus siap mental jika nanti teman teman
mencemooh-ku dari belakang, dengan spontan apa saja yang ada di benakku
aku keluarkan dengan nada santai tenang dan mengalir hingga berakhir,
serempak teman-teman menatapku dan guru-pun ternganga dan dapat tepuk
tangan dan sorakkan yang meriah, tidak menyangka, dapat mengambil
perhatian kelas dan kembali ke tempat duduk dan teman teman mengerumuni
ku seperti lalat yang serempak menuju makanan sisa, “lo belajar dimana? ,
bikinin puisi buat gue dong, gila tadi keren baget, gue sampe terharu
men” itu kata mereka semua dan aku hanya senyum datar aku pun lupa apa
yang aku bacakan tadi di depan kelas secara itu hanya spontan dari otak
dan hati.
Bel pulang sekolah berbunyi lagi dan satu lagi hari membosankan ini
telah berakhir, kenapa aku tidak melihat wiranti di sekolah tadi?, ya
sudah lah tidak penting. jalan pulang seorang diri di trotoar jakarta
dengan cahaya mentari pukul 16:34, tempat makan sekaligus restoran cepat
saji, pikir-ku mungkin segelas teh hijau rendah kalori membuatku
kembali segar, membawanya ke meja kosong dan menyeruput segarnya sambil
melihat ke jalan raya, suara khas klakson supir, Dengan riuhnya jalanan,
sudut pojok itu dia? Kardigan ungu gelap sedang memainkan ponselnya,
aku membawa gelasku dan duduk di mejanya, “boleh duduk di sini?” Dia
menatap, tersenyum dan berkata, “boleh dong”, “tadi kok di sekolahan gue
gak lihat lu ya?”, “masa? Padahal gue masuk”, aku hanya melihat mukanya
yang murung karena kelelahan, kami pun terdiam, selang 2 menit, “Rezki
Wiranti mau ikut gue gak?”, “kemana? Males gerak nih” “udah ayo!”
Paksaku.
Di belakang supermarket itu aku tau ada bukit yang lumayan tinggi
yang di bawahnya ada lapangan golf dan danau, pemandangannya cukup indah
walau kita harus menanjak, “ini mau kemana sih?”, “pengen tau kan? Ya
udah ikutin” dan sampai disana, atas bukit. Ya, Indah bukan
pemandangannya?” “Waaah keren banget,” kagumnya, “walaupun jakarta punya
kekurangan tapi ada sisi baiknya juga, “keren yah, pasti lu sering
kesini?”, “baru pertama kali sih”, “loh kok tau tempat ini dari mana?”,
“hehe bercanda, gue sering kesini sendirian”, “masa sih seharusnya lu
kasih tau dong tempat ini sama orang lain”, “udah pernah waktu itu…”,
“kenapa?” Diri ini hanya terdiam sambil menatap langit di sore dan di
hiasi awan yang memancarkan garis cahaya. “Kenapa ki..?”, “eh engga
engga gapapa”, “cerita aja..”. “Waktu itu sore pas hujan gerimis di
sini, dia teman kecil gue, dan gua suka sama dia pas hari itu dia yang
ngajak gue ke tempat ini, entah karena rumputnya licin gue sama dia
jatuh menggelinding sampai ke pohon itu” sambil ku tunjuk pohon disana.
“Lalu” tanya ranti, “lalu kepalanya terbentur dengan keras kejadian itu
di depan mata kepala gue sendiri, sejak itu selama 2 tahun gue gak mau
kesini lagi, dan itu mungkin kesalahan gue”, “itu kecelakaan dan lo
nyalahin diri lo sendiri, namanya kecelakaan gak ada yang tau kecuali
Allah ki”, “iya sih memang, tapi ya udah lah mungkin Allah punya jalan
lain yang lebih baik”, “nah itu tau haha” ku lihat gadis itu masih
memandangi langit. “Ranti, sebernarnya gue mau bilang sesuatu sama lo”,
aku-pun memberanikan diri.
Asrinya lapangan golf dan Danaunya dihiasi oleh titik garis langit
mentari di sore hari, matanya masih menatap-ku dengan polos indahnya,
wahai lembayung senja jika engkau menyaksikannya, “lo mau ngomong
sesuatu apa ki..?”, “ehmm gini gue mau bilang… gue tau ini pasti terlalu
cepat, tapi gue juga gak mau nunggu lama?”, “kenapa apaan sih
maksudnya?”, “Lu mau gak jadi pacar gua..?”, “ha apa?..”, aku melihatnya
hanya terkekeh tertawa dan terbahak-bahak, “kok malah ketawa si…?”
Tanya-ku heran sekaligus malu. “Gapapa heran aja… hahaha, gini ya
bukannya gue nolak, gue itu belum pernah pacaran, lagian gue juga gak
mau pacaran dulu, pacaran itu pasti akhirnya pahit, kalau sahabatan gak
ada akhirnya”, “hmm gitu iya bener sih mungkin gue nya yang terlalu
terburu-buru maaf ya”, “gapapa ya maaf juga gue gak maksud nolak”, “iya
gue tau ya udah deh udah sore, takut nanti pulangnya gak dapet
magrib..”, “iya yuk pulang”, “eh bentar gue bawa sepeda ki!”, “ya udah
terus?”, “boncengan gue aja”, “masa cowok di boncengin cewek?” “Udah
gapapa naik buruan,” sambil tersenyum ya sudahlah biar saja, mumpung ada
ojek sepeda tukang ojeknya cantik pula, Saat bersepeda menuju jalan
pulang, ada sebuah turunan yang curam di depan kami.
“Ki, berani gak?” Tanyanya.
“Turunan doang? Berani lah.”
“Tapi gak pake rem.”
“Terus berentinya gimana?”
“Detak jantung kita yang berentiin.”
“Mati iya deh.”
“Berani gak, ki?”
“Siapa takut.” Balas-ku sambil memegang jok dengan kuat.
dia hanya mendorong sedikit sepedanya dan sepeda melaju kencang, kurasa angin menghembus seragam-ku. Dan aku merasakannya.
“Turunan doang? Berani lah.”
“Tapi gak pake rem.”
“Terus berentinya gimana?”
“Detak jantung kita yang berentiin.”
“Mati iya deh.”
“Berani gak, ki?”
“Siapa takut.” Balas-ku sambil memegang jok dengan kuat.
dia hanya mendorong sedikit sepedanya dan sepeda melaju kencang, kurasa angin menghembus seragam-ku. Dan aku merasakannya.
Cerpen Karangan: Muhammad Dhanu
Blog: www.dhanuofficialonline.blogspot.com
Blog: www.dhanuofficialonline.blogspot.com
Tentang Penulis : Muhammad Danu
Umur : 16 tahun
Kelas : 2 Sma
Hobby : music, anime, berispirasi
twitter: @dhanuputra48
Umur : 16 tahun
Kelas : 2 Sma
Hobby : music, anime, berispirasi
twitter: @dhanuputra48
No comments:
Post a Comment