Sejak itu. Sejak pertama kali melihatnya, aku dibuat jatuh cinta
kepadanya lewat seseorang yang memberitahuku bahwa dia indah, dia abadi.
Dia bernama Senja. Dia mirip seperti matahari, namun matahari tak
seindah dia. Tentu saja. Tak akan pernah ada yang dapat mengalahkan
keindahannya yang abadi. Keindahan yang membuat mataku tak akan pernah
berpaling untuk tidak melihatnya. Namun, aku tak dapat melihat matanya.
Pikiranku mulai melayang dan seseorang di sampingku bertanya padaku.
“Kenapa kau tersenyum, Oya?”. Begitulah dia memanggilku Oya.
“Kau tahu bage? Aku harus berterima kasih padamu”. Aku tersenyum padanya.
“Kenapa? Sepertinya sejak tadi aku tak melakukan apapun”
“Karena kau telah mengenalkan aku pada Senja yang indah ini. Itu membuat aku tak murung kembali”. Aku tersenyum.
“Kenapa kau tersenyum, Oya?”. Begitulah dia memanggilku Oya.
“Kau tahu bage? Aku harus berterima kasih padamu”. Aku tersenyum padanya.
“Kenapa? Sepertinya sejak tadi aku tak melakukan apapun”
“Karena kau telah mengenalkan aku pada Senja yang indah ini. Itu membuat aku tak murung kembali”. Aku tersenyum.
Dia menoleh padaku. Sebagian rambut poninya menutupi sebelah matanya. Ia mulai berucap.
“Kau tahu? Kau itu seperti Senja. Walaupun, kau tak abadi sepertinya. Tapi, kau indah sepertinya. Kau sudah sangat cukup membuat hari-hariku menjadi indah karena kau ada di sampingku. Oya, aku mencintaimu”
“Aku juga mencintaimu, Bage. Dan aku ingin memberitahumu, bahwa kamu telah berhasil sejak awal kau mencoba.”
Aku sedang bercanda dengan Bage. Ia tidak pernah gagal membuatku merasa nyaman.
“Kau tahu? Kau itu seperti Senja. Walaupun, kau tak abadi sepertinya. Tapi, kau indah sepertinya. Kau sudah sangat cukup membuat hari-hariku menjadi indah karena kau ada di sampingku. Oya, aku mencintaimu”
“Aku juga mencintaimu, Bage. Dan aku ingin memberitahumu, bahwa kamu telah berhasil sejak awal kau mencoba.”
Aku sedang bercanda dengan Bage. Ia tidak pernah gagal membuatku merasa nyaman.
Sore pun mulai diujung menuju malam yang kelam. Disaat itulah aku
melihat Senja mulai jatuh. Selamat tidur senja. I’ll see you soon.
Semenjak itu, aku selalu menunggu Senja setiap sore. Kebahagiaan ku
di saat melihat Senja, masih seperti kemarin. Aku akan kembali pulang di
saat Senja mulai jatuh. Begitu seterusnya.
Kemudian pada suatu sore yang lain, aku sedang tak lagi menunggu
Senja. Karena Senja yang membuatku jatuh cinta, tidak terasa sama
seperti kemarin. Cahayanya redup. Tertutup awan nimbostratus yang gelap
dan tak berbentuk.
Saat aku melihat itu, aku berharap dapat menghalau awan itu agar tak
menutupi cahaya Senja. Namun, apalah daya. Saat itulah aku mulai marah
pada awan nimbostratus. Tiba-tiba ada seseorang memegang pundakku. Dan
berkata dengan suara lirih. Ternyata dia kekasihku, Bage.
“Tenanglah, kau akan melihat Senja yang lebih indah besok”. Kata Bage mencoba menenangkan.
“Tenanglah, kau akan melihat Senja yang lebih indah besok”. Kata Bage mencoba menenangkan.
Aku hampir tidak bisa mendengar suaranya di antara gemuruh hujan
turun dan sambaran petir. Aku bersandar di pundak Bage. Dan melihat awan
nimbostratus mulai lenyap ketika menurunkan hujan yang sangat deras.
Saya tidak suka hujan di sore hari.
Aku menunggu dan berharap hujan mulai reda. Agar aku dapat melihat
cahaya terakhirnya di saat Senja mulai jatuh. Menunggu itu bukan hal
yang mudah dilakukan. Aku mulai terlelap dengan sendirinya karena lelah
menunggu hujan yang tak kunjung reda.
Aku harap aku dapat melihat Senja yang lebih indah besok. Seperti
yang Bage katakan padaku sebelum aku memimpikannya. I’ll see you soon,
Senja.
Cerpen Karangan: Gita Calistha
Facebook: Gita Calistha
Facebook: Gita Calistha
No comments:
Post a Comment